Catatan Debat Pilpres 2019 Putaran Pertama

Catatan Debat Pilpres 2019 Putaran Pertama

Catatan Debat Pilpres 2019 Putaran Pertama
Paslon nomor 1 dan paslon nomor 2 bersama ketua KPU 2019 saat debat pilpres pertama 17 Januari 2019 lalu. (Foto: Instagram)

Suaramuslim.net – Ajang debat dalam rangkaian kegiatan pemilihan presiden merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas. Debat diharapkan dapat memperlihatkan visi misi calon presiden dan calon wakil presiden, termasuk penguasaan isu yang dibahas.

Debat antara dua pasangan kandidat capres-cawapres pada Kamis (17/1) lalu menjadi perhatian warganet. Situs Spredfast mencatat bahwa dalam lima jam, dari pukul 18.00 hingga 23.00 WIB, ada lebih dari 52.000 cuitan membahas jalannya debat.

Namun praktiknya, debat capres tersebut tak dilakukan secara maksimal. Respons yang diberikan satu pasangan atas jawaban pasangan lainnya kerap lebih merupakan pernyataan setuju atau tambahan atas jawaban yang telah disampaikan. Belum lagi isu-isu yang dibahas dianggap terlalu normatif dan terlalu disetting. Redaksi Suaramuslim.net mencoba mengumpulkan pendapat para pakar dan penyelenggara pemilu terkait hal ini dalam siaran Ranah Publik di radio Suara Muslim.

Debat yang Adil dan Beradab

 Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Airlangga Suparto Wijoyo dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (21/01/19) mengatakan, sebetulnya pilpres 2019 tidak mengubah konstelasi pemilih secara signifikan. Bagaimana pun wakil mereka yang sudah mengumbar janji-janji palsu, melakukan kesalahan dalam pandangan pemilih setianya tetap benar. Jika pemimpin berlaku berdusta, maka mereka menganggap janji yang belum terealisasi bahkan melebihi dari sabda siapa pun.

“Maka jika ada pertanyaan apakah ada kemajuan antara debat pilpres 2014 dengan 2019? Jawabannya ya kita mendebat sesuatu yang diperdebatkan,” paparnya.

Suparto mengatakan, secara obyektif, debat pilpres seharusnya menjadi area pencerdasan bukan area peneladanan kebaikan yang tidak mencerdaskan. KPU benar-benar memberikan rasa aman kepada kandidat demi persatuan dan persaudaraan. Sehingga debat yang dipanggungkan tiada lain adalah debat yang menginternalisir artian kemanusiaan yang adil dan beradab serta debat yang memberikan kebaikan untuk para elit di mana soal yang sudah diketik rapi dan dipelajari.

“Tidak boleh debatnya menyudutkan lawan melainkan menyudutkan diri sendiri jauh lebih mulia sebab membuka aib lawan tidaklah kepribadian yang sedasar dengan pesan kemanusiaan yang adil dan beradab,” jelasnya.

Debat capres perdana kemarin (17/01) Menurut Suparto, suatu perdebatan yang dramatik. Yakni sebuah panggung drama perdebatan bagi para calon presiden dan wakil presiden yang memiliki corak persepsional. Meskipun kisi-kisi sudah diberikan tetapi masih ada jawaban yang tidak nyambung dan ada juga pertanyaan yang tidak masuk akal.

“Saya sekarang menjadi jelas tentang persoalan impor, ternyata keputusan dari sebuah perdebatan serius di kabinet tetapi yang memutuskan di tangan presiden. Jadi kita sudah tidak memiliki persepsi melainkan realitasnya seperti itu. Semua orang tahu kita sekarang justru tidak mandiri karena impor dan itu yang memutuskan adalah presiden,” ungkapnya.

 Pengaruh Debat pada Pemilih Mengambang

Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surochiem Abdussalam dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (21/01/19) menilai, debat perdana yang berlangsung masih jauh dari harapan, salah satu penyebab di antaranya ada kesan tidak alami. Para kandidat seolah tidak menjadi diri sendiri namun banyak memainkan peran sebagai kehendak tim sukses.

“Tentu saja sebuah debat diharapkan untuk meningkatkan elektabilitas, tetapi menurut saya, karena proses perdebatan tidak alamiah akhirnya menjadi kontra produktif terhadap debat publik yang sesungguhnya ingin meraih pemilih rasional,” ujarnya.

Surochiem menyebut, kecendrungan masyarakat modern saat ini melalui kecanggihan komunikasi yang kompleks memang orisinalitas sangat penting, namun jika konteksnya berbicara debat publik maka tolak ukurnya hanya dua. Pertama subtansi atau isi materi, kedua cara penyampaian.

“Masalah substansi memang harus berbobot. Apa yang disampaikan harus berbobot, betul-betul jawaban strategis pada level kepala negara yang tentunya bisa memberikan harapan perbaikan secara substantif,” jelasnya.

Pun juga penting masalah komunikasi, Surochiem menjelaskan, di Indonesia berbeda dengan Amerika. Indonesia sebagian besar masyarakatnya menganut politik sopan santun high context culture. Jika seseorang terlalu menyerang dan tidak respek terhadap lawan debat bisa minimalis mendapatkan suara. Berbeda di Amerika, kandidat yang menjatuhkan lawan, maka akan diberikan intensif eklektoral oleh pemilih.

“Jadi istilahnya menyampaikan sesuatu bukan dipukul tetapi dicubit, menyampaikan sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan. Persoalannya kita saat ini berada di Indonesia,” tuturnya.

Itulah yang membuat debat publik saat ini semakin kering dan mengukuhkan jurang antar pendukung, lanjut Surochiem, fanatisme semakin kuat, sadar atau tidak akan membelah rakyat menjadi fanatik. Hal ini jauh dari yang diinginkan, yaitu pemilih semakin rasional, mempertimbangkan hal objektif, sesuai dengan kebutuhan negeri Indonesia ke depan.

“Dalam hal ini saya menyampaikan apresiasi kepada mas Sandiaga Uno, paling tidak, ia  sudah memberikan harapan baru karena nilai keadaban yang ditampilkan,” ungkapnya.

Menurut Surochiem, siapa pun kandidat yang bisa mengkombinasikan gagasan yang komprehensif dan menyampaikan pesan komunikasi gaya masyarakat timur maka akan menentukan insentif elektoral. Di samping itu yang perlu diperhatikan adalah angka pemilih menggambang masih tinggi sekitar 30-35 persen.

“Dugaan saya mereka masih menunggu bagaimana gagasan yang disampaikan para kandidat, jika yang ramai saat ini di medsos mereka adalah pemilih fanatik artinya, hanya mencari keburukan pasangan lain. Namun yang saya khawatirkan jika nantinya debat pilpres ke depan masih sama dengan debat di awal, maka angka pemilih mengambang cenderung akan menjadi pemilih golput,” pungkasnya.

 Perbaikan Format Debat

Komisioner KPU Kota Surabaya Nurul Amalia mengatakan, pihaknya tidak menutup kritikan atas masukan masyarakat. Debat ini adalah salah satu metode yang sudah dicantumkan di UU yang bisa memberikan informasi lebih terhadap calon yang akan dipilih.

“KPU menyadari harapan publik terhadap debat pertama pilpres belum terpenuhi, salah satunya terkait dengan pemberian pertanyaan ke paslon sebelum debat. Nantinya debat selanjutnya tidak lagi diberikan kisi-kisi, karena KPU hanya memfasilitasi agar masyarakat bisa memilih secara rasional,” paparnya.

Nurul menyebut, debat kedua, format dan mekanisme akan dirancang sedemikian rupa agar memungkinkan bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden menunjukkan performa, kapasitas terkait penyampaian gagasan-gagasan besar yang tercantum dalam visi, misi, program untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment