Suaramuslim.net – Ahli ibadah, zuhud, ketaatan yang luar biasa pada Allah, serta dengan mudah diijabah doanya oleh Allah. Sekiranya itu yang dapat menggambarkan cicit Rasulullah. Lalu, siapakah ia hingga begitu diistimewakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala?
Nafisah namanya. Dilahirkan pada tahun 145 Hijriyah di Mekah. Seorang putri dari Zaid bin Al Hasan seorang ahlul bait pemimpin Madinah pada masa Khalifah Ja’far Al Manshur. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang taat beribadah. Di umurnya yang ke delapan tahun ia sudah menjadi seorang hafidzah.
Ia menimba ilmu di kota Madinah. Berguru pada syaikh dan ulama disana. Selama itu pun ia menyangga nama Nafisatul ‘Ilmi.
Sementara itu, dalam Majalah Cahaya Nabawiy No.50 Th.V Rabiu’l Awwal 1428/April 2007 dipaparkan, Nafisah memiliki beraneka ragam karamah. Tak hanya hafal Al Quran, ia juga mampu menjadi seorang ahli tafsir pun juga periwayat hadits. Dengan kerajinan, kesungguh-sungguhannya, dan ke-istiqomahannya ia pun pernah berdoa, “Ya Tuhanku, berikan aku kemudahan untuk berkunjung ke (makam) kekasihMu Ibrahim ‘alaihissalam.”
Di sisi lain, sebelum menikah ia pernah mendapatkan cobaan dengan keluarganya. Ayahnya pernah diasingkan ke Baghdad karena friksi politik. Bahkan seluruh harta kekayaan Zaid bin Al Hasan juga disita. Tak pelak ia hanya bisa pasrah dan mengikuti ayahnya hidup dalam pengasingan di Baghdad. Ia yakin bahwa setiap ujian akan berbuah manis kepada hambaNya yang bersabar.
Kembali ke Madinah dan Menikah
Di saat tampuk kekhalifahan berganti ke Al Mahdi, ayahnya pun dibebaskan dan Nafisah kembali ke Madinah. Sekembalinya ke Madinah, Nafisah menikah dengan seorang Ishaq Al Mu’tamin putra dari Ja’far Ash Shadiq radhiyallahu ‘anhu di bulan Rajab 161 H. Pada saat inilah, ia dapat menunaikan ibadah haji bersama suaminya. Setelah menunaikan ibadah tersebut, ia memutuskan untuk pindah ke Mesir bersama suaminya.
Kepindahan ke Mesir
Setelah ia dan suaminya memutuskan untuk berpindah ke Mesir pada tahun 135 Hijriyah. Ia berdiam di Fustat, di kediaman seorang pemilik toko di Mesir, Ibn Al Jashash.
Dengan kepindahannya ke Mesir ini. Ia mendapatkan banyak kunjungan dari para ulama senior kala itu. Tak terkecuali adalah kunjungan dari Imam Syafi’i seorang ulama besar pencetus madzhab. Ia tak segan mengunjungi Nafisah untuk bertukar pikiran. Mereka sering tenggelam dalam berbagai pembicaraan, mulai dari fiqh, hadits, dan persoalan-persoalan ibadah lainnya.
Dengan pertemuan-pertemuan itu tumbuh ikatan kuat antara guru dan murid. Bahkan, Imam Syafi’i pernah berwasiat kepada Nafisah, jika kelak ia wafat, ia meminta Nafisah ikut menshalati jenazahnya. Ia pun menyanggupi wasiat tersebut. Kala itu, wafatnya Imam Syafi’i memberi duka yang cukup berat bagi Nafisah.
Menggapai Zuhud
Sepeninggal Imam Syafi’i ia pun tersadar bahwa dunia ini fana tak ada satupun yang abadi. Ia memutuskan untuk berpaling dari sisi dunia dan mengejar akhirat. Ia terus beribadah tak kenal lelah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tak pernah seharipun ia meninggalkan shalat malam dan berpuasa.
Bahkan dalam beberapa literatur disebutkan ia menggali lubang menyerupai liang lahat. Setiap harinya, ia shalat dan menelaah Al Quran di dalam lubang itu. Hingga suaminya pun khawatir akan kesehatan Nafisah.
Kezuhudannya mendapat pengakuan dari banyak kalangan, tak terkecuali Imam Ahmad bin Hanbali. Dalam suatu kisah, ia pernah meminta doa kepada Nafisah. Sejak saat itu kalangan warga Mesir mulai berbondong-bondong berkunjung ke rumah Nafisah. Ada yang ingin belajar, ada juga yang meminta didoakan.
Dengan kondisi tersebut membuat Nafisah resah. Ia merasa sulit untuk beribadah seperti biasanya karena harus menemui warga yang berkunjung ke rumahnya. Dengan hal ini ia memutuskan untuk meninggalkan Mesir.
Namun, hal ini segera diketahui oleh otoritas Mesir kala itu hingga mereka mencegahnya. Otoritas Mesir memutuskan untuk memindahkan Nafisah ke daerah Darb as Siba dan membuat pembatasan jadwal kunjungan.
Keistiqamahan dan kezuhudannya terus melekat dalam diri Nafisah hingga ajal menjemput. Ia wafat pada bulan Ramadhan 208 Hijriyah dalam kondisi berpuasa. Di saat-saat menjelang ajal menjemput, ia menyempatkan diri untuk membaca Al Quran surat Al An’am:127 yang berbunyi:
“Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.”
Dengan mengetahui biografi Nafisah Binti Hasan, semoga ia bisa menjadi teladan bagi seluruh umat Islam, khususnya bagi para wanita yang berkeinginan menjadi seorang ahli surga.
Kontributor: Ilham Prahardani
Editor: Oki Aryono