Corona yang Mengubah Komunikasi Kita

Corona yang Mengubah Komunikasi Kita

Corona yang Mengubah Komunikasi Kita
Ilustrasi video conference. (Foto: Katadata.co.id)

Suaramuslim.net – Dalam suatu kegiatan webinar ada salah seorang peserta yang bertanya apakah wabah corona ini mengubah komunikasi kita? Saya jawab, “iya.” Pandemi corona telah mengubah banyak praktik komunikasi kita dalam interaksi antar manusia. Pandemi ini telah menegaskan akan semakin pentingnya komunikasi tatap muka. Media yang ada tak mampu menggantikan komunikasi diadik.

Dengan maraknya penggunaan pertemuan berbasis media seperti google meet, zoom dan sejenisnya menandakan bahwa manusia merasa butuh bertemu antara yang satu dengan yang lainnya dan media tersebut sebagai cara untuk mentransmisikan pesan namun tetap tidak mampu menggantikan pertemuan diadik.

Hal ini terungkap dari dialog-dialog dalam berbagai media tersebut akan kerinduan mereka untuk bertemu secara langsung. Bahkan apabila ditanyakan pada anak-anak kita tentang bagaimana perasaan mereka selama melakukan belajar dari rumah maka mereka akan sepakat mengatakan sangat rindu bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Hal ini menandakan bahwa komunikasi diadik tak mampu tergantikan dengan cara apapun.

Bahkan dalam komunikasi bermedia yang marak selama masa pandemi ini telah menggerus nilai-nilai etika kita dalam berkomunikasi. Apabila kita cermati dengan baik bagaimana sikap para peserta dalam berkomunikasi di kala sedang melakukan meeting dengan apapun aplikasinya cenderung menganggap remeh nilai-nilai etika.

Jika dalam berinteraksi muka seseorang yang dapat menunjukkan ekspresinya secara langsung atas penerimaannya, penghormatan, penolakan, ketidaksetujuan dan sebagainya. Namun semua itu hilang begitu saja saat seseorang melakukan komunikasi bermedia.

Semua ini disebabkan adanya jarak media yaitu adanya pembatas dari penyampai pesan kepada penerima pesan melalui medium tertentu yang menyebabkan tidak tersampainya sentuhan perasaan pada saat seseorang menggunakan media dalam berinteraksi dengan orang lain. Sebab fitrah manusia adalah makhluk sosial yang ingin berinteraksi secara sosial.

Nilai-nilai etika dalam komunikasi publik juga tergerus pada saat menggunakan media. Sebagai contoh, di saat seseorang sedang melakukan pertemuan atau meeting dengan menggunakan media aplikasi tertentu, semisal Zoom atau Google meet dan sejenisnya, seseorang mungkin dapat mematikan layar kamera dan speaker pada aplikasi tersebut, sehingga dia dapat melakukan aktivitas yang lain, sementara para partisipan mungkin menganggapnya hadir, sehingga jumlah partisipan yang mengikuti tidaklah mencerminkan tingkat kehadiran para peserta.

Artinya kehadirannya adalah semu, kecuali jika layar kamera dalam pertemuan beraplikasi itu diaktifkan. Bahkan tidak jarang para peserta mengikuti pertemuan meeting tersebut sambil berjalan-jalan, berpakaian seadanya dan berbagai tindakan komunikasi lainnya, sementara hal ini tidak dapat dijumpai dalam interaksi tatap muka.

Demikian pula, selama masa pandemi, berbagai strategi penanganan dilakukan sebagai upaya mencegah penyebaran wabah ini dengan protokol kesehatan. Seperti penggunaan masker, mencuci tangan, social distancing dan sebagainya. Mungkin hal ini terkesan sepele. Namun protokol tersebut mengubah pola komunikasi kita.

Tidakkah kita sadari bahwa dengan penggunaan masker, hal ini menutupi ekspresi seseorang saat sedang berinteraksi dengan orang lain. Ekspresi adalah hal terpenting dalam setiap komunikasi tatap muka (face to face). Seseorang akan dapat memaknai setiap pesan komunikasi melalui ekspresi wajah, apakah ada penerimaan atau penolakan.

Pada seseorang menutup wajahnya dengan masker maka sebenarnya telah hilang gambaran ekspresi. Seseorang tidak bisa membedakan antara sedang tersenyum dengan merengut pada wajah seseorang yang sedang memakai masker. Padahal senyuman memberikan kontribusi positif bagi terjalinnya hubungan komunikasi yang harmonis antar individu. Senyuman adalah salam penghormatan dan penerimaan universal. Namun semua itu hilang bersamaan dengan penggunaan masker yang menutupi wajah.

Komunikasi skeptis

Fenomena pandemi corona yang dimulai dengan penuh keterkejutan dan ketakutan telah mengantarkan masyarakat pada kepanikan yang berlebihan. Sehingga pelaksanaan protokol kesehatan terkadang dibangun atas kepanikan tersebut.

Hal ini tentu berdampak pada interaksi antar manusia, saat ini seseorang tidak berani bersalaman dengan orang lain (sebelum mencuci tangan) dengan alasan takut terjadi penularan corona. Mungkin hal ini bisa menjadi wajar manakala dibangun atas pemahaman dan kesadaran, namun akan berbeda manakala yang menjadi dasar motivasinya adalah kepanikan dan ketakutan, terlebih lagi atas dasar kecurigaan (skeptis).

Demikian halnya dengan protokol kesehatan tentang social distancing yang mensyaratkan adanya jarak interaksi antar individu. Sementara keharmonisan komunikasi akan terjadi manakala adanya proximity (kedekatan) baik psikologis maupun fisik. Social distancing akan berdampak pada berkurangnya derajat keintiman interaksi seseorang.

Kedekatan hubungan seseorang diyakini ditentukan oleh penggunaan jarak (territory) dalam berinteraksi. Semakin dekat territory yang dipergunakan dalam interaksi maka semakin intim hubungan terjalan. Penggunaan jarak interaksi dalam komunikasi individu sebagaimana dianjurkan dalam protokol kesehatan dengan minimal 1 meter, termasuk dalam kategori jarak publik (public territory) yang menandakan pola hubungan interaksi impersonal.

Komunikasi yang terjadi selama pandemi lebih dibangun atas dasar curiga (skeptis) terhadap orang lain. Landasan komunikasi antar manusia yang seperti hanya akan melahirkan prasangka-prasangka negatif (su’uzhon) terhadap orang lain. Bangunan komunikasi yang seperti ini akan menjadi bibit bagi munculnya konflik dalam masyarakat. Sehingga penerapan social distancing yang dilandasi atas motivasi penuh prasangka berpotensi menjadi sumber konflik baru dalam masyarakat kita.

Termasuk dalam fenomena komunikasi yang menjadikan kasus corona ini menjadi wabah pandemi adalah menguatnya media dalam meramaikan kasus virus corona lebih semakin menakutkan dan tampak sangat berbahaya.

Sementara berdasarkan catatan para ahli tentang tingkat distruktif virus ini dan berdampak mematikan adalah tidak seganas keluarga virus corona sebelumnya seperti Mers ataupun SARS.

Pertanyaannya mengapa Covid-19 menjadi kekuatan pandemi yang mampu menghentikan berbagai aktifitas berbagai negara disebabkan karena kekuatan media? Pada saat merebaknya virus MERS dan SARS beberapa tahun sebelumnya, kekuatan media tidak semarak seperti Covid-19 ini mempandemi (2020). Berbagai realitas ini tampak nyata sebagai sebuah fenomena yang memengaruhi perubahan komunikasi kita hari ini.

9 Juni 2020
Akhmad Muwafik Saleh.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Tanwir Al Afkar, Dosen FISIP UB, Motivator Nasional, Penulis Buku Produktif, Sekretaris KDK MUI Provinsi Jawa Timur.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment