Dai itu seperti air, mengalirkan kebaikan

Dai itu seperti air, mengalirkan kebaikan

Artikel ini disarikan dari program Motivasi Al-Qur'an yang mengudara setiap Kamis 05.00-06.00 WIB di Suara Muslim Radio Network.

Suaramuslim.net – Motivasi dari Surat Al Muddatsir ayat 1-7.

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ، وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ، وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ، وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ، وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ، وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

“Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.”

Di kalangan ulama terjadi perbedaan apakah surat tersebut adalah awal surat yang turun atau tidak, seperti ada yang mengatakan itu sebagai surat kedua turun setelah surat Al-‘Alaq.

Dalam sebuah riwayat Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan yang lainnya, dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Aku berdiam diri di Gua Hira. Setelah selesai, aku pun beranjak keluar dan menelusuri lembah, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku, maka aku pun menoleh ke sebelah kananku namun aku tidak melihat siapa-siapa, aku menoleh ke sebelah kiri, juga aku tidak melihat siapa-siapa, kuarahkan pandanganku ke belakang namun aku juga tidak melihat siapa-siapa. Ketika aku melihat keatas, ternyata terdapat Malaikat yang sebelumnya mendatangiku di gua Hira tengah duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku merasa ketakutan hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. Lalu aku pun segera pulang menemui keluargaku seraya berkata, ‘Selimutilah aku’. Maka keluargaku pun segera menyelimutiku.” (Fathul Qadir 5/394).

Surat ini berbeda tafsir dengan surat Al Muzammil yang memiliki arti terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sama yaitu ‘orang yang berselimut’. Namun demikian secara makna berbeda. Al Muzammil dari kata zamil (زميل) artinya sesuatu yang melekat dan membuat tenang atau nyaman, karena itu ada kata zamiil yang berarti kawan yang melekat, jamaknya zumala (زملاء).

Muzammil adalah orang yang melekatkan sesuatu padanya sehingga menjadi nyaman atau tenang. Seperti selimut kalau sudah lekat kan tenang. Karena itu surat ini berbicara tentang bangun malam jangan sampai kalah dengan kenyaman berselimut.

Berbeda dengan muddatstsir dari kata ditsar yang artinya benar-benar selimut bukan kalimat perumpamaan. Ditsar atau selimut biasanya diartikan dengan melindungi diri dari sesuatu yang menakutkan atau yang membuat tidak nyaman.

Al Muddatstsir adalah seseorang yang gelisah atau ketakutan kemudian berselimut. Ini terkait Nabi Muhammad yang ketakutan melihat Jibril. Dalam surat tersebut seolah Allah hendak memerintahkan Nabi Muhammad untuk terus bangkit dalam menghadapi masyarakat jahiliyah dan terus berdakwah mengajak mereka kembali kepada jalan yang benar. Juga memberi petunjuk kepada beliau mengenai kaidah-kaidah dalam berdakwah.

Enam kaidah berdakwah dalam surat Al Muddatsir

1. Qum fa andzir

Bangunlah lalu berilah peringatan! Jangan terlena dengan kenyamanan dan perlindungan selimut tidur. Teruslah bangkit untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Karena itu ada ulama yang mengatakan bahwa sejak Nabi Muhammad menerima perintah dalam ayat ini, maka beliau tidak pernah lagi istirahat (terus berdakwah). Itulah kegiatan Nabi Muhammad sehari harinya hingga meninggal dunia, yaitu menyampaikan risalah Allah agar Islam tersebar ke seluruh penjuru bumi.

Dalam berdakwah harus terus bersemangat. Tidak boleh kendor sekalipun ada halangan yang merintangi. Jadikan nafas kehidupan kita itu adalah dakwah, karena setiap muslim harus menjadi dai, sekalipun tidak setiap dai adalah seorang ustaz, kiai atau habib.

Jika dakwah terus berjalan, musibah tidak akan turun di tengah masyarakat kita.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Azza wa Jalla tidak mengabulkan doa kalian.” (Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi).

Saat wabah menghantam Syam dan Hijaz, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata;

“Saat itu banyak penyakit demam dan wabah di Irak, Hijaz dan Syam. Hewan-hewan liar mati di berbagai tempat terbuka dan begitu pula hewan ternak mati, angin hitam bertiup kencang dan pohon-pohon bertumbangan.”

“Maka Khalifah Al Muqtadi Biamrillah memerintahkan untuk menggalakkan amar ma’ruf nahi munkar dan menghancurkan alat-alat musik, maka akhirnya wabah penyakit itu hilang dan penyakit-penyakitnya pun sirna.” (Al Bidayah wan Nihayah, 16/93).

So, tetap bangkit untuk terus berdakwah, jangan mager!

2. Wa rabbaka fakabbir

Dan agungkan Tuhanmu. Inti dari petunjuk atau kaidah kedua ini adalah;

Tujuan utama dalam dakwah adalah mengajak manusia semua kembali kepada meng-Esakan Allah. Meluruskan tauhid laa ilaaha illallah dan menyelamatkan umat dari kesyirikan.

Dalam berdakwah harus selalu mengikhlaskan diri demi mengagungkan nama Allah, bukan nama diri para dai itu. Bukan mencari popularitas atau menjadi selebritas dalam dakwah terutama yang lewat medsos.

Karena godaan terberat dari pejuang dakwah adalah ketika followers banyak. Menjadi populer yang dielu-elukan banyak umat. Jika para pejuang dakwah tidak siap, maka ia akan kena mental kalau sang lovers berubah menjadi haters.

3. Wa tsiyabaka fathohhir

Dan bajumu bersihkan dari kotoran dan kemaksiatan yang menempel.

Seorang dai harus dapat memberikan contoh untuk tidak gemar bermaksiat atau mencoba-coba maksiat.

Seorang dai harus selalu berpenampilan menarik. Baju yang rapi, badan yang bersih lagi harum dengan niat menghargai ilmu yang disampaikannya. Para pejuang dakwah harus berpenampilan yang stylist meski tidak harus branded.

Imam Malik berkata:

“Tidaklah aku menyukai seseorang yang telah diberi nikmat oleh Allah, kecuali agar nikmat itu diperlihatkan. Terlebih untuk orang yang berilmu, seyogyanya bagi mereka untuk memperlihatkan muru’ah-nya dalam hal berpakaian, untuk memuliakan ilmu pengetahuan”.

So, bagaimana mungkin mengajak orang lain di saat yang sama, orang lain tidak mau memperhatikannya karena penampilan yang tidak menarik.

Karena itu Abuya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki berkata;

لطالب العلم ينبغي ان يكون عزيزا في نفسه جميلا في ملبسه

“Bagi penuntut ilmu semestinya memiliki sikap mulia dalam dirinya dan keindahan dalam berpakaian.”

Ini sesuai dengan riwayat dari Imam Tirmidzi;

 إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

“Allah suka melihat bekas nikmat-Nya (yang Ia berikan) pada hamba-Nya.”

4. War rujza fahjur

Dan tinggalkan berkata kotor. Arti rujz memang beragam, ada yang mengartikan berhala, dosa atau azab. Intinya dalam berdakwah itu sebisa mungkin menghindari sesuatu yang dapat mendatangkan konflik yang besar (azab). Dan biasanya dalam berdakwah yang memunculkan konflik itu adalah kata-kata kotor atau meso, porno dan lainnya.

Berdakwah, terutama di era milenial ini harus mengedepankan kelembutan. Bayangkan orang yang terbaik saja ketika berdakwah kepada orang yang terburuk dalam peradaban manusia, masih menggunakan bahasa yang lembut, layyinah. Yaitu dakwah Nabi Musa kepada Firaun, dajjalnya umat ini.

اذهبا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَا

“Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Taha: 43-44).

5. Wa la tamnun tastaktsir

Janganlah engkau memberi untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi. Jangan mikir cuan atau untung materi dalam berdakwah, karena berdakwah itu adalah tugas para Nabi. Itu adalah pekerjaan yang mulia dan jangan dibuat hina dengan pasang tarif untuk berdakwah.

Dalam surat Yasin ayat 21, kita diperintah mencari dai yang ikhlas dalam berdakwah.

اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Para dai mestinya yakin pula dengan pernyataan para Nabi, seperti Nabi Nuh, Hud, Yunus, dan lainnya dengan pernyataan kalimat yang sama di Q.S. Yunus 72, Hud 29, 51, Asy-Syu’ara 109, 127, 145, 164 & 180 dan Saba 47.

Redaksi yang sama yaitu:

ان اجري الا علي الله atau ان اجري الا علي رب العالمين

“Upahku tidak lain hanya dari Allah semata.”

Dai seperti air, ada macam-macamnya

Dai seperti air hujan yang bisa turun di mana-mana dan tidak pilih tempat.

Dai seperti air sumur, yang selalu nyumber dan didatangi untuk ditimba airnya. Dai yang seperti sumur, akan selalu nyumber ilmunya dan selalu didatangi untuk diambil ilmunya. Mungkin karena fisiknya sepuh justru ia didatangi untuk diambil ilmu. Ini yang disebut Imam Malik, al ilmu yu’ta wa laa ya’tih, ilmu itu didatangi bukan mendatangi yang mencarinya.

Dai seperti air di perusahaan air minum, baru bisa keluar airnya kalau sudah dibayar. Inilah dai yang suka pasang tarif seperti air PAM yang ada tarifnya.

Dai seperti air comberan. Yaitu para dai yang jiwanya kotor. Dakwah hanya kedok untuk menutupi motivasinya yang merusak dakwah itu sendiri.

6. Wa lirabbika fashbir

Bersabar dalam dakwah dengan terus berharap akan rahmat Allah. Bersabar motivasinya macam-macam. Ada bersabar karena takut. Ada pula bersabar karena mengharap pahala. Ada pula bersabar karena mengharap Allah jatuh cinta padanya.

Maka dalam berdakwah tidak akan lepas dari segala cobaan, bersabar dalam menghadapi itu semua agar mendapatkan cinta Allah itu adalah yang terbaik sebagai pribadi mukmin.

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17).

Karena bersabar dalam dakwah dengan mengingat di saat sulit bahwa ada Allah mencintai kita, maka akan menjadi ringan segala rintangan dakwah itu. Itulah perkara yang penting! Wallahu a’lam.

M Junaidi Sahal
8 September 2022/11 Safar 1444

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment