Suaramuslim.net – Hutang dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dihindarkan. Bahkan sebagian orang mengatakan harus. Jika ingin memiliki sesuatu. Usaha, rumah, mobil dan sebagainya perlu hutang. Dan ini bisa ke bank, BMT dan semisalnya.
Kalau lembaga memang tidak butuh perasaan. Yang penting administrasi dan hitam di atas putihnya jelas, beres. Nah menjadi soal jika dengan antar orang. Ini perasaan juga ikut bermain.
Sebagaimana terlihat dalam kehidupan sehari-hari, terjadi keretakan sebuah pertemanan dan persaudaraan bisa dikarenakan hutang. Dan ini sudah membawa korban yang begitu banyak. Dan tidak mungkin bisa diragukan lagi.
Orang yang berhutang dan yang memberi piutang sering kali mengalami gangguan komunikasi dalam beragam aktivitasnya. Sebut saja misalnya, si fulan mempunyai utang ke tetangga sebelah. Biasanya, hubungan ketetanggaannya akan terganggu karena uang. (Irfan Supandi:2009)
Rasululah saw. pernah jauh-jauh hari mengingatkan dampak daripada hutang. Bisa membawa kerusakan sebuah akhlak. Dan ini bisa memicu hubungan yang tidak baik.
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari)
Jika sudah waktu jatuh tempo, uang untuk bayar belum ada. Yang ada hanya bisa menghindar, berbohong dan tentu saja dia sudah terjatuh kepada ingkar kepada janji. Meleset bayar dari jatuh tempo.
Orang yang berhutang sering menghindar dari yang memberi hutang. Khawatir kalau-kalau ia menagih dan di dengar orang lain. Sementara, orang yang memberi piutang juga demikian. Dengan alasan yang berbeda, ia berusaha pula untuk tidak ketemu kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu saja.
Jika ia orang baik, mungkin dibenaknya terbersit perasaan bahwa kalau ia ketemu tetangganya yang dipinjami, khawatir perasaannya tersinggung sehingga ia lebih baik tidak ketemu dulu sampai hutangnya lunas.
Alasan apa pun dari kedua belah pihak, imbasnya terasa kepada hubungan sehari-hari. Saat-saat bercengkerama sebagai tetangga dekat akan luput gara-gara hutang. Lebih jauh lagi, keduanya akan kehilangan banyak peluang pahala.
Contoh lain, seseorang berhutang ke sebuah toko. Ketika ia akan berbelanja ke toko tersebut. Ketika ia akan berbelanja ke toko tersebut, perasaannya tidak bisa dibohongi, ia segan. Padahal kali ini ia akan beli cash meskipun belum bisa bayar hutang sebelumnya.
Hambatan psikologis ini mencegah untuk datang ke toko itu. Padahal toko lain yang menjual barang yang ia butuhkan amat jauh. Dengan perasaan terpaksa, ia pun pergi jauh untuk membeli kebutuhannya. Fenomena ini amat sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat.
Terkadang bila orang tua yang berhutang, nama anak-anak pun terbawa-bawa sebagai anak tukang hutang. Dengan begitu, jeleklah nama keluarga itu. Orang tua yang berhutang dapat juga merusak psikologis anak dan keluarganya. Maka, hinalah keluarga itu di mata masyarakat. Atau sebaliknya, anaknya yang penggemar hutang. Tiba-tiba, ada orang menagih kepada orang tua si anak tanpa basa-basi dulu. Dengan demikian, hutang bisa membuat malu dan menghinakan keluarga.
Namun perlu diingat jika orang berhutang dan tidak mau bayar, kelak dihukum layaknya pencuri. Tindakan yang tidak sebanding dengan hukuman yang diberikan.
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah)
Kontributor: Muslih Marju*
Editor: Oki Aryono
*Penulis adalah Guru di SD Inovatif Aisyiyah Kedungwaru-Tulungagung