Suaramuslim.net – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji kembali menyorot satu isu yang sensitif sekaligus strategis, yaitu: sejauh mana dana haji boleh diinvestasikan di sektor non-haji.
Pertanyaan ini bukan hanya soal finansial, tapi juga soal etika publik, amanah keagamaan, dan kepercayaan umat. Sebab dana haji bukan dana investasi biasa; ia adalah titipan calon tamu Allah yang menunggu panggilan ke Tanah Suci yang diupayakan dengan doa, harapan, dan kesabaran bertahun-tahun.
Maka ketika dana tersebut “diputar” di luar kepentingan langsung penyelenggaraan haji, umat berhak bertanya: apakah itu maslahat, atau justru melenceng dari tujuan?
Investasi: Antara amanah dan nilai manfaat
Secara hukum, Pasal 10 huruf f Undang-Undang 34/2014 memang memberi ruang bagi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk menginvestasikan dana haji demi memperoleh nilai manfaat. Prinsipnya, investasi dilakukan sesuai syariah, kehati-hatian, dan kepentingan jamaah.
Secara ekonomi, gagasan ini masuk akal. Dana haji yang mengendap selama bertahun-tahun (karena antrean keberangkatan bisa mencapai 26 tahun) memang sayang jika hanya disimpan pasif. Dengan pengelolaan yang cermat, nilai manfaatnya bisa membantu menekan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan bahkan membiayai kemaslahatan umat secara lebih luas.
Dalam teori public trust fund, pemanfaatan dana publik untuk kepentingan jangka panjang adalah bagian dari tanggung jawab manajerial. Namun, di sinilah muncul dilema moral dan kebijakan.
Risiko dan kerentanan di sektor non-haji
Masalah utama bukan pada ide investasinya, tetapi pada di mana dan bagaimana dana itu ditempatkan. Investasi di sektor non-haji (seperti infrastruktur, surat berharga, atau proyek pemerintah) mengandung risiko ganda: risiko keuangan dan risiko persepsi.
Secara keuangan, fluktuasi pasar dan instrumen yang tidak sepenuhnya sesuai dengan profil syariah dapat menggerogoti nilai pokok atau menunda hasil manfaat. Secara moral, muncul persepsi bahwa dana umat “dipinjamkan” untuk kepentingan yang tidak langsung berkaitan dengan ibadah.
Di sinilah kepekaan sosial dan spiritual menjadi penting. Dana haji bukan hanya “aset negara”, tetapi amanah umat. Jika investasi non-haji tidak dikelola dengan transparan dan partisipatif, maka kepercayaan bisa hilang, dan itu jauh lebih mahal dari kerugian finansial.
Kelebihan: Jika tepat arah dan tujuan
Namun, tidak adil juga jika seluruh investasi non-haji dianggap negatif. Bila diarahkan ke sektor produktif yang menyentuh ekonomi umat (seperti perumahan syariah bagi jamaah, rumah sakit haji, transportasi halal, wisata halal, industri PPIU/PIHK, atau pembiayaan mikro bagi masyarakat sekitar ekosistem haji) maka manfaatnya bisa sangat besar.
Dalam konteks revisi UU 34/2014, arah kebijakan investasi sebaiknya dipertegas: bahwa investasi non-haji hanya dibenarkan sepanjang memiliki linkage langsung terhadap kemaslahatan jamaah dan umat. Bukan semata mencari profit finansial, tapi menciptakan social return yang nyata.
Dengan begitu, investasi dana haji bisa menjadi katalisator pembangunan ekonomi berbasis syariah yang inklusif. Bukan sekadar “parkir dana besar” di surat utang negara.
Perlu reformasi akuntabilitas
Kelemahan utama selama ini bukan terletak pada aturan boleh atau tidaknya investasi non-haji, melainkan pada transparansi dan pengawasan. Laporan BPKH yang hanya disampaikan ke DPR setiap enam bulan tidak cukup untuk menjaga akuntabilitas publik. Jamaah, sebagai pemilik dana, sering kali tidak tahu di mana uang mereka ditempatkan dan bagaimana hasilnya.
Maka, revisi UU perlu menambahkan kewajiban publikasi periodik dan real-time melalui portal terbuka yang memuat portofolio investasi, tingkat risiko, dan nilai manfaat yang diperoleh. Partisipasi ormas Islam dan organisasi jamaah dalam forum pengawasan publik juga bisa menjadi jembatan antara negara, lembaga, dan umat.
Kembali ke esensi amanah
Intinya, perdebatan tentang boleh tidaknya dana haji diinvestasikan di sektor non-haji seharusnya berporos pada satu nilai utama, yaitu: amanah.
Amanah bukan hanya dalam arti menjaga uang tetap utuh, tetapi memastikan bahwa setiap rupiah yang diinvestasikan membawa manfaat nyata bagi jamaah dan umat. Jika prinsip ini dijaga, maka tidak ada kontradiksi antara syariah dan produktivitas.
Namun jika orientasi investasi lebih condong ke logika profit ketimbang maslahat, maka revisi undang-undang hanyalah formalitas tanpa ruh.
Ke depan, tata kelola dana haji perlu diarahkan pada prinsip good hajj governance: profesional dalam kinerja, transparan dalam laporan, dan berpihak pada kemaslahatan umat. Sebab di balik angka-angka besar itu, ada jutaan doa dan harapan kecil yang menunggu diberangkatkan ke Baitullah.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Ketua Litbang DPP AMPHURI
Artikel ini merupakan refleksi akademik dan masukan konstruktif atas proses revisi UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Ditulis untuk memperkaya wacana publik tentang arah reformasi kelembagaan keuangan haji yang berkeadaban dan berkeadilan bagi umat.

