Suaramuslim.net – Setelah gema takbir Idulfitri mereda dan kesibukan kembali menyelimuti ruang-ruang kerja, hadir sebuah tradisi khas yang menyatukan hati dan meretas jarak antar individu: halal bi halal.
Tradisi ini bukan sekadar seremoni sosial tahunan. Ia adalah momentum reflektif yang membuka ruang silaturahim, meredakan ketegangan, dan menyegarkan kembali relasi dalam organisasi. Namun lebih dari itu, halal bi halal menyimpan potensi besar sebagai titik awal menuju peningkatan performa organisasi yang lebih bermakna.
Di tengah dinamika dunia kerja yang menuntut produktivitas tinggi, momen halal bi halal memberi jeda untuk mengisi ulang makna kebersamaan. Saat tangan saling bersalaman dan hati saling memaafkan, sesungguhnya ada jalinan emosional yang menguat.
Inilah saat di mana organisasi, tim, dan individu memiliki peluang untuk membangun ulang fondasi kerja berbasis kepercayaan dan kebersamaan. Dari maaf yang tulus, performa bisa tumbuh dengan lebih kuat dan berkelanjutan.
Dalam literatur manajemen sumber daya manusia, pendekatan human relations dari Elton Mayo menggarisbawahi bahwa performa tinggi tidak hanya bersumber dari keahlian teknis dan insentif, tetapi lebih dalam lagi pada hubungan sosial yang sehat. Ketika individu merasa dihargai dan didengarkan, mereka akan memiliki motivasi lebih besar untuk memberi kontribusi terbaik.
Halal bi halal dan semangat kerja
Halal bi halal adalah bentuk nyata dari praktik sosial yang bisa memperbarui relasi ini. Dengan pendekatan yang tepat, ia dapat menjadi modal sosial yang menyuburkan semangat kerja kolektif.
Sering kali dalam realitas organisasi dan komunitas, halal bi halal hadir sebagai semacam ‘reset button’ yang tidak tertulis dalam SOP perusahaan. Momen ini menghadirkan suasana informal yang menghapus sekat struktural, mengalirkan kembali komunikasi yang sempat tersumbat, dan menumbuhkan semangat baru dalam tim. Bahkan konflik internal yang sebelumnya terpendam, bisa luluh dalam percakapan ringan di sela-sela halal bi halal.
Teori self-determination dari Edward Deci dan Richard Ryan menekankan bahwa motivasi intrinsik tumbuh dari tiga aspek: kompetensi, otonomi, dan keterhubungan. Dalam konteks halal bi halal, aspek keterhubungan sangat mungkin diperkuat. Saat individu merasa terhubung secara emosional dengan rekan kerja dan pemimpin, ia akan memiliki energi baru untuk melampaui sekadar bekerja, menuju berkarya dengan hati.
Dalam budaya organisasi, Edgar Schein menyebut pentingnya nilai-nilai dasar sebagai landasan perilaku kolektif. Nilai seperti saling menghormati, keterbukaan, dan tanggung jawab bersama tidak tumbuh instan, ia dibangun dari interaksi bermakna. Halal bi halal menjadi ruang interaksi tersebut. Ia tidak hanya memperbaiki relasi interpersonal, tetapi menyegarkan ulang nilai-nilai budaya kerja yang sehat dan produktif.
Kepemimpinan transformatif
Dari perspektif kepemimpinan, momen ini juga sangat strategis. Dalam model kepemimpinan transformatif, pemimpin tidak hanya memberi arah tetapi juga inspirasi.
Pemimpin yang mampu memanfaatkan halal bi halal dengan tulus dapat mempererat kembali komitmen tim terhadap visi organisasi. Bukan dengan pidato formal semata, tetapi dengan gestur sederhana: menyapa, mendengarkan, dan memberi apresiasi. Gestur seperti ini menciptakan suasana batin yang nyaman dan membangun rasa memiliki.
Bayangkan seorang pemimpin yang menyapa langsung staf juniornya, menanyakan kabar keluarga, atau mengucapkan terima kasih atas kontribusi kecil yang sering terlupakan. Di mata teori manajemen, mungkin itu hanya soft skill. Tapi di dunia nyata organisasi, itu adalah energi yang menggerakkan.
Transformasi dari maaf ke performa
Transformasi dari maaf ke performa tentu bukan proses sekejap. Dibutuhkan kontinuitas dan komitmen bersama. Halal bi halal bisa menjadi awal yang indah, tetapi langkah-langkah berikutnya harus dirawat: dengan komunikasi yang terbuka, penghargaan terhadap peran masing-masing, serta penciptaan ruang kerja yang aman dan inklusif.
Semangat dari halal bi halal perlu dihidupkan kembali dalam rapat, forum, dan interaksi harian, agar ia tidak menguap hanya sebagai momen tahunan.
Dalam perspektif nilai Islam, silaturahim bukan hanya memperpanjang umur dan memperluas rezeki, tetapi juga memperkuat keberkahan dalam kerja. Tradisi ini berakar kuat dari ajaran Rasulullah yang menekankan pentingnya ukhuwah, saling memaafkan, dan menjalin kembali hati yang sempat retak. Maka ketika halal bi halal dijalankan dengan niat yang tulus dan dilanjutkan dengan tindakan nyata dalam dunia kerja, ia bukan hanya tradisi budaya, melainkan juga bentuk ibadah sosial yang agung.
Dari sinilah performa bermula, bukan sekadar dari target yang ditetapkan manajemen, tetapi dari hati yang terhubung dan semangat yang menyatu. Maka dari maaf yang terucap dalam halal bi halal, mari kita tumbuhkan semangat untuk bekerja lebih bermakna, lebih berdaya, dan lebih berkah. Sebab performa terbaik adalah ketika kerja menjadi ladang amal, dan organisasi menjadi ruang tumbuh untuk memberi manfaat seluas-luasnya.
Heri Cahyo Bagus Setiawan
Dosen Pengajar MSDM di FEB Universitas Negeri Surabaya
Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia