SURABAYA (Suaramuslim.net) – Wilayah politik adalah soal perebutan pengaruh. Dalam upaya merebut pengaruh inilah, segala kemungkinan untuk memenangkan pengaruh bisa saja dilakukan. Praktik politik uang dan biaya politik bisa ditafsirkan liar sesuai kepentingan.
Money politics (politik uang) bukan lagi rahasia, bahkan menjadi hal biasa saja sehingga mudah diterima di tengah masyarakat kita yang belum mendapatkan pendidikan politik yang cukup. Begitu pula lemahnya ekonomi masyarakat dijadikan sasaran empuk untuk diperalat dengan jalan politik uang.
Beberapa waktu lalu, KPK melakukan OTT terhadap anggota DPR-RI dari Partai Golkar dengan memamerkan 82 kardus serta 400.000 amplop yang berisi pecahan rupiah. Demikian jua kabar dari Madura. Ada Menko yang sedemikian teganya memperlakukan guru kaum santri, memberi amplop dan membisiki agar datang ke TPS dan memilih capres tertentu.
Ini semua adalah realitas yang merisaukan kita, apalagi sepuluh hari jelang pemilu 17 April nanti. Akankah “demokrasi amplop” atau demokrasi isi tas ini mampu mengalahkan urunan rakyat kepada capresnya? Atau daulat umat akan tegak dengan semakin banyak pemilih rasional yang tercerahkan?
Demokrasi Amplop
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (8/4/19) mengatakan, situasi semacam ini banyak yang tidak jelas karena ada paslon yang merasa wajib menang dan tidak siap kalah maka muncullah indikasi ketidaknetralan.
Indikasi, lanjut Suparto, berupa orang yang curiga tentang kemampuan netralitas Bawaslu serta profesionalitas KPU. Maka kecurigaan inilah yang harus direduksi dengan cara tidak memberi ruang potensi indikasi.
“Ada indikasi seorang menteri secara vulgar memberikan amplop kepada sosok tokoh agama. Ini pelecehan, bukan soal bisyaroh! Jika itu dikatakan bisyaroh berarti menteri tersebut melakukan kesengajaan. Bisyaroh itu dikatakan wajar apabila dalam kondisi normal. Tetapi kondisi menjelang coblosan dan menyebut nama sosok yang harus dipilih, maka ini fakta penyuapan,” tegasnya.
Menurut Suparto, disebut penyuapan pada otoritas agama yang dilakukan oleh otoritas menteri, dikarenakan bisyaroh itu diberikan berbarengan bisikan instruksi untuk memilih pasangan tertentu. Berbeda jika bisyaroh itu diberikan tanpa bisikan pengarahan.
“Jadi berkompetisi itu pasti terbelah, namun setelah usai coblosan, simbol demokrasi menjadi unity kembali. Jika pilihan tidak mau terbelah, ya calon tunggal saja, tidak usah memakai partai tetapi itu namanya melawan kodrat demokrasi,” paparnya.
Suparto menegaskan, hidup sejak dulu urusan memilih. Kita bebas mau memilih haq atau hoax, fitnah atau fakta, baik atau buruk. Jadi memilih itu penting, dan dalam setiap pilihan hidup itu pasti ada kristalisasi jati diri. Itulah yang dinamakan identitas, pengelompokan golongan meskipun dalam satu bangsa. Jika hari ini, ya seperti berpartai politik itu.
“Namun sekarang situasi menandakan ada politik uang, jika seperti itu di mana sikap bawaslu, bagaimana respons KPU? Termasuk tentang DPT invalid. Semua orang tahu bagaimana masyarakat di desa didata, aparatur pedesaan setiap minggu diceklist progresnya untuk paslon tertentu. Sebagian besar pejabat dan kepala daerah mengarahkan ke paslon tertentu. Lho ini kan fakta, urusan benar atau tidak biarlah diurusi institusi hukum,” ucapnya.
Mobilisasi Institusi Negara
Suparto menegaskan, dalam pemilu kali ini sungguh terjadi fenomena yang memberi kesan kepada rakyat, bahwasanya ada mobilisasi institusi negara melalui kelembagaan untuk berbondong-bondong mendukung salah satu paslon calon presiden. Contohnya BUMN, hari ini digerakkan luar biasa untuk diarahkan kepada satu paslon, bahkan mereka terang-terangan menjadi jurkam.
“Ini bukan perdebatan soal hukum tetapi rasa keadilan bisa tersayat melihatnya. Jika Anda tidak mau berkompetisi dan harus menang, ya langsung tetapkan saja dari sekarang 17 April 2019 hasil kemenanganmu tanpa usaha pemilu,” jelasnya.
Pemilu itu mempunyai nalar demokrasi bahwasanya sebagai institusi negara, siapa pun yang mencalonkan diri atau sebagai petahana seharusnya tidak akan memanfaatkan fasilitas negara.
Jika seperti itu, lanjut Suparto, maka petahana akan dikenang sebagai pemimpin yang memiliki jiwa demokrasi bukan jiwa monokrasi.
“Bahwa ada kekuasan yang dimonopoli, yang digulirkan untuk mengarahkan pada pasangan tertentu, munculnya amplop, itu indikasi ketidaksiapan kalah,” paparnya.
Suparto menyebut, dalam situasi semacam itu, dibutuhkan respons hukum. Tidak bisa dikatakan memberi uang dalam situasi sekarang sebagai bagian tradisi. Tetapi, itu adalah rapuhnya identitas diri. Pihak yang mencari kekuasan dengan cara money politics menunjukkan tidak ada manfaat apa pun dalam satu periode kekuasaannya.
“Logikanya, petaha kan sudah melakukan kampanye selama 5 tahun. Maka harusnya dia tidak butuh kampanye. Jadi kalau petahana yang selama ini berkuasa perlu berkampanye, apalagi yang harus disampaikan?” Tuturnya.
“Politik uang mengindikasikan calon pemimpin yang rakus. Rakyat yang menerima dan mencoblosnya pun termasuk rakyat yang rakus. Pemimpin yang rakus menyebabkan umat semakin rakus. Jika politik uang semakin berkembang, rakyat semakin tidak terdidik, tidak berakhlak lebih baik, maka dipastikan ada yang salah dalam sistem bernegara kita,” tandas Suparto.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir