Kecerdasan Rakyat dalam Menagih Janji Petahana

Kecerdasan Rakyat dalam Menagih Janji Petahana

Kecerdasan Rakyat dalam Menagih Janji Petahana
Ilustrasi kepalan tangan (Ils: Roompoetliar/Freepik)

Suaramuslim.net – Menjadi Petahana berpeluang sangat besar memenangkan pertarungan. Hal ini disebabkan dia telah berkampanye secara gratis selama masa jabatannya. Kalau selama menjabat, berbagai kebijakannya membawa perubahan positif pada masyarakat secara luas, maka itu sudah merupakan nilai positif sekaligus tiket untuk memenangkan kompetisi. Oleh karena itu, Petahana yang menorehkan nilai baik, maka saat kampanye tidak perlu mengeksploitasi seluruh sumber daya yang dimiliki guna memenangkan pertarungan.

Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa Petahana kali ini begitu maksimal dan total dalam mengeksploitasi fasilitas negara untuk memenangkan pertarungan. Bahkan berbagai jurus, mulai yang bersifat persuasif maupun ancaman, sudah dikeluarkan, namun rakyat tetap menuntut pergantian Petahana. Petahana dianggap gagal melaksanakan janji-janji politiknya selama menjabat. Bahkan rakyat menilai bahwa Petahana dianggap membohongi janji-janjinya saat kampanye dulu.

Gagalnya Mewujudkan Janji-janji Politik

Ketidakmampuan menjalankan janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye, pada  tahun 2014, menjadi salah satu poin penting mengapa rakyat menginginkan pergantian presiden. Janji menghentikan impor dan keinginan berswasembada pangan menjadi janji politik yang membuat rakyat terpukau untuk memilihnya. Alih-alih mewujudkan janji politik itu, presiden Jokowi justru mengimpor bahan pangan sehingga memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, dan program untuk terwujudnya swasembada pangan hanya jadi impian.

Janji membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya merupakan harapan dan mimpi besar rakyat kecil Indonesia, tetapi yang terjadi justru impor tenaga kerja dari luar. Membanjirnya tenaga asing dari Cina yang mengerjakan proyek-proyek di Indonesia menjadi bukti. Proyek ini telah  menggulung dan memarginaliasi penduduk lokal untuk memperoleh lapangan kerja. Hal ini bukan hanya melahirkan pengangguran tetapi menciptakan kegelisahan dan kegoncangan sosial secara massif.

Keberpihakan terhadap ideologi komunis terlihat kasat mata. Kalau selama ini, masyarakat begitu takut untuk mengenakan atribut atau simbol “palu arit” tetapi banyak orang yang berani secara terbuka mengenakan simbol itu baik dengan mengenakan kaos, topi maupun bendera. Hal ini jelas berlawanan dengan kebijakan negara yang masih melarang ideologi terlarang ini. Tentu ini menyulut dan melahirkan gejolak masyarakat.

Pemerintah saat ini dianggap tidak memperkecil ruang gerak ideologi kiri tetapi justru memberi ruang gerak meluasnya ideology komunis ini. Bahkan pemerintah justru membuat kebijakan yang mengalihkan perhatian dan menciptakan Islam radikal sebagai musuh bersama. Islam radikal diopinikan sebagai bahaya nyata yang mengancam ideologi Pancasila.

Bahkan munculnya kritik terhadap rapuhnya sistem pertahanan dan keamanan negara Indonesia juga menjadi pintu masuk bagi pihak asing melakukan penjajahan ekonomi dan politik. Kerjasama dan pembangunan ekonomi dan politik banyak berkiblat pada Cina, sehingga seluruh aktivitas ekonomi dan politik membuka peluang bagi pemain-pemain Cina untuk secara terbuka masuk dan mengendalikan ekonomi dan politik Cina. Pembangunan infrastruktur jalan tol yang demikian massif, dengan kualitas yang kurang bagus, merupakan bukti adanya kebijakan yang memberi angin besar pada Cina.

Demikian pula dengan janji-janji untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta janji untuk memberantas korupsi terbukti hanya janji-janji kosong.  Ketidakberhasilan dalam membersihkan budaya korupsi dengan tertangkapnya orang-orang dekat presiden merupakan bukti kegagalan pemerintah mewujudkan janji politiknya. Tertangkapnya Romahurmuziy, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Bowo Sidik dari Partai Golkar, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, merupakan bukti gagalnya memberantas korupsi.

Bahkan dalam masa kampanye, Petahana tidak segan-segan dan secara terbuka mengerahkan seluruh kekuatan bikrokrasi untuk mendukungnya. Bahkan secara terbuka mengumpulkan aparat desa dan mengancam bila tidak memenangkan pertarungan dengan melibatkan aparat kepolisian. Meskipun hal ini dibantah, namun pemberitaan lewat media sosial demikian gencar, tentang keterlibatan institusi kepolisian, tidak bisa membantah hal itu.

Kecerdasan Sosial dan Kepanikan Rezim

Antusiasme masyarakat dalam menghadiri dan keinginan menyaksikan langsung orasi Prabowo-Sandi dan sedikitnya massa Jokowi-Ma’ruf Amin menunjukkan harapan perubahan dan pergantian presiden. Hal ini menunjukkan adanya animo masyarakat yang menginginkan perubahan dan tidak lagi meempercayakan mandate pada Petahana.

Ketidakpercayaan publik terhadap Petahana inilah yang menyulut presiden untuk melampiaskan kemarahannya. Presiden merasa dizalimi dengan berita bohong dan bahkan siap melawan penyebar hoax. Bahkan elite lain mengancam penyebar hoax dan siap menjeratnya dengan UU Terorisme. Elite negara pendukung Petahana bahkan menciptakan opini bahwa ideologi negara saat ini terancam oleh Islam radikal.

Adanya opini ini tidak membuat masyarakat lantas memepercayainya. Rakyat sudah cerdas dalam membaca arah politik yang mengarah pada politik adu domba dan pembelahan antar komponen masyarakat. Masyarakat sudah tidak lagi mudah tersulut karena media sosial sudah bisa menjembatani adanya penggiringan opini itu.

Bahkan lembaga survey sudah diupayakan secara maksimal untuk mempengaruhi opini publik juga tidak berpengaruh dalam mendongkrak elektabilitas Petahana. Alih-alih mempengaruhi opini publik, masyarakat justru mencurigai bahwa lembaga-lembaga survei itu hanya sekedar memberi harapan dan mimpi-mimpi memenangkan pertarungan. Bahkan publik sudah membaca adanya upaya sistematis dari Petahana untuk mengerahkan dana dan tenaga untuk memenangkan pertarungan, baik melalui program maupun serangan fajar.

Publik sudah merasakan bahwa Petahana telah gagal mengawal janji-janji politiknya, sehingga berbagai program yang ditawarkan, di akhir masa jabatannya, tidak lebih sebagai sebuah pencitraan untuk mengambil hati rakyat untuk memenangkan petarungan.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment