Deschooling vs Deislamisasi

Deschooling vs Deislamisasi

The rise of Nadim Makariem
Ilustrasi persekolahan.

Suaramuslim.netThe rise of Nadiem Makarim sebagai Mendikbud merupakan proyek sekulerisasi sebagai deislamisasi Indonesia tahap akhir. Melalui kepemimpinan baru Kemendikbud ini, dan UU Pesantren yang baru disahkan, syarat-syarat budaya bagi sebuah bangsa sekuler dan terjajah akan dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif.

Setelah sistem persekolahan massal dijadikan instrumen teknokratik bagi masyarakat industri sekuler sejak Orde Baru, proses deislamisasi itu semakin memperoleh kekuatan dan momentumnya di bawah rezim ini.

Sekulerisasi adalah deislamisasi karena dirancang untuk menjauhkan Islam dari kehidupan ekonomi dan politik untuk memfasilitasi penjajahan nekolimik.

Namun sesungguhnya sejak 1970an itu juga, Ivan Illich, seorang pastor Katolik di Meksiko, justru menganjurkan deschooling. Illich yang pernah berkunjung ke pesantren Pabelan di Magelang, melihat konsep deschooling dalam praktik di lingkungan pedesaan Jawa. Anjuran deschooling itu oleh Illich mungkin memang bukan untuk mencegah deislamisasi, namun untuk mencegah pendunguan massal dalam rangka pembentukan masyarakat industri yang sekuler.

Illich berhasil membedakan antara persekolahan dan pendidikan, serta melihat bahwa persekolahan justru merusak pendidikan.

Pada saat elite Indonesia masih menilai radikalisme sebagai ancaman bagi investasi, di tangan Nadiem Makarim, sistem persekolahan paksa massal ini tidak saja menjadi instrumen teknokratik menyiapkan masyarakat industri, tapi sekaligus instrumen deradikalisasi sebagai proxy deislamisasi.

Sudah sejak 10 tahun lalu, saya menganjurkan agar komunitas pendidikan mulai memikirkan kembali deschooling: mengurangi dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan dengan memberi tugas-tugas pendidikan yang lebih besar pada keluarga sebagai satuan pendidikan yang sah, dan juga pada masyarakat, terutama masjid bagi komunitas muslim. Di samping persekolahan makin terbukti tidak efektif, pendidikan bagi semua hanya mungkin oleh semua.

Pendidikan tidak mungkin dilaksanakan secara efektif dengan memperbesar persekolahan. Bahkan Ki Hadjar Dewantara menegaskan tri sentra pendidikan: keluarga, masyarakat, dan perguruan.

Perlu dicermati bahwa persekolahan diciptakan semula untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil sejak revolusi industri sekitar 200 tahun silam. Saat gereja Anglikan Inggris dan Katholik Roma bersikap ambiguous terhadap keluarga, maka memang pendidikan di Barat sangat mengandalkan persekolahan bagi regenerasi nilai-nilai Barat yang sekuler.

Lalu sejarah menyaksikan secara lambat tapi pasti lembaga keluarga di Barat mengalami degradasi yang sangat serius. Bahkan saat ini pernikahan sesama jenis, dan LGBT sudah dinyatakan legal di banyak negara Barat.

Dalam konteks keluarga itulah kita mesti mencermati bahwa menyerahkan tugas-tugas pendidikan hanya pada persekolahan akan memperlemah keluarga dan masjid. Masjid bertugas melengkapi pendidikan dalam keluarga. Persekolahan boleh diberi tugas yang bersifat melengkapi seperti memberikan kecakapan-kecakapan teknis. Bagi muslim, pembentukan adab dan akhlak hanya bisa dilakukan secara efektif di rumah dan di masjid.

Perlu dipahami bahwa keluarga, masjid dan pesantren, adalah benteng terakhir Islam di Indonesia. Persekolahan adalah ancaman laten bagi ketiga lembaga ini. Namun segera perlu dicatat bahwa sejak lama kantong-kantong Islam adalah kantong-kantong perlawanan terhadap penjajahan. Pembukaan dan UUD45 yang asli adalah rumusan perlawanan muslim menghadapi penjajahan itu.

Penjajah tahu bahwa agar penjajahan baru nekolimik bisa berlangsung, instrumen penjajahan harus diubah wajahnya agar nampak lebih bersahabat dan mulia: persekolahan, bukan tank, bedil dan mesiu.

Oleh karena itulah umat Islam Indonesia perlu segera meninggalkan paradigma schooling ini, lalu mengambil paradigma learning (belajar).

Bagi umat Islam, pendidikan tidak boleh lagi diwujudkan dalam pembesaran persekolahan hingga ke pesantren-pesantren, tapi justru mengurangi persekolahan dengan memperluas kesempatan belajar di rumah dan di masyarakat, terutama di masjid-masjid dengan kurikulum yang mandiri dengan lebih mengutamakan relevansi personal dan spasial/lokal, bukan mutu global mbelgedhes.*

Gunung Anyar, 24/10/2019

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment