Suaramuslim.net – Dunia saat ini diguncangkan oleh propaganda internasionalisasi dua Tanah Suci yakni Makkah dan Madinah. Propaganda internasionalisasi Makkah dan Madinah ini bukanlah hal yang baru. Pada dekade 80-an propoganda pernah dipopulerkan oleh pemimpin spiritual tertinggi Syi’ah sekaligus pemimpin Revolusi Iran, Khomeini.
Pada saat itu, Khomeini meminta agar pengelolaan dua Kota Suci umat Islam itu dikelola oleh Komite Islam Internasional dan tidak lagi di bawah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak dapat dipungkiri, Iran sangat berkepentingan untuk mensukseskan ide internasionalisasi Makkah dan Madinah. Iran memiliki tujuan geopolitik dalam rangka ekspansi ideologi dan memperluas penguasaan teritorial (lebensraum). Penguasaan lebensraum sangat berharga bagi Iran, untuk mengupayakan hegemoni di Timur Tengah dan pada akhirnya di seluruh penjuru dunia.
Ketika Khomeini berhasil menjatuhkan dinasti Shah Pahlevi melalui revolusinya tahun 1979, segera setelah itu ia mengatakan: “…Aku mau ekspor revolusi ke luar!”. Berdirinya revolusi itu telah memunculkan kebangkitan Syi’ah, yang dahulunya lebih menekankan pada aspek quetisme (kecenderungan untuk bersikap pasif secara politik dan lebih mengedepankan pola hidup keberagamaan yang ascetic), kini hadir dalam bentuk yang progresif dalam bentuk ideologi yang revolusioner. Khomeini telah berhasil menjadikan ajaran Syi’ah yang demikian terlembagakan sebagai sebuah institusi (institutional shi’ism) dengan seperangkat pemikiran teologis dan politisnya (theological and political framework).
Revolusi Iran memiliki daya sentrifugal yang menjangkau seluruh dunia muslim, hingga saat ini. Iran sangat massif dan ofensif dalam ekspansi ideologi imamah yang berseberangan dengan umat Islam. Melalui kelembagaan velayat el-faqih (wilayat al-faqih), Iran mengklaim bahwa kepemimpinan Islam secara universal adalah berdasarkan mandat Ilahi, dan sekarang berada pada Imam Mahdi (Imam Keduabelas) yang sedang dalam masa “ghaib kubro”.
Selama masa ghaib kubro, maka menurut ketentuan Pasal 5 Konstitusi Republik Iran, kekuasaan dijabat oleh waly al faqih, yang tiada lain untuk masa sekarang adalah Ali Khamenei sebagai pengganti Khomeini. Dapat dikatakan bahwa ekspansi ideologi itu sebagai konsekuensi dari doktrin imamah yang mengalami elaborasi transformatif oleh ulama ushuli yang oleh Khomeini berhasil dimasukkan ke dalam konstitusi negara Iran.
Ideologi imamah adalah termasuk ideologi transnasional yang masuk melalui penetrasi atau infiltrasi budaya dan agama (transcendental) dan berwatak fundamentalis. Keberadaannya pada suatu negara sebagai ancaman nir-militer, yang menghendaki terjadinya perubahan revolusioner dalam rangka pencapaian tujuan cita-cita mendirikan suatu negara berdasarkan paham keagamaan yang berlaku di Iran (Syiah Imamiyah Itsna Asyariyyah).
Aspek nir-militer ini dikenal sebagai aspek asimetris. Ancaman yang bersifat asimetris tidak menggunakan kekuatan militer (hard power) atau peperangan simetris melainkan dengan menggunakan isu-isu ideologis, politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi informasi.
Jadi, propaganda internasionalisasi dua Tanah Suci oleh Iran termasuk cakupan peperangan yang bersifat asimetris. Namun demikian, bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi peperangan simetris. Kita ketahui, Iran dewasa ini telah berhasil menjadikan beberapa negara sebagai sekutunya. Lebanon telah menjelma sebagai “negara bagian” Iran dengan hizbullah sebagai “perpanjangan tangan” Iran.
Sejak kemunculan hizbullah hingga sekarang, fungsi waly al-faqih senantiasa tidak terpisahkan sari ideologinya. Ideologi jihad hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad yang dilakukan. Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihad dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
Tegasnya, hizbullah telah menjelma menjai actor nonstate, untuk kepentingan negara Iran selaku “penerima manfaat” (beneficiary state). Iran bersekutu dengan rezim Bashar Assad (Suriah) dan menjadi mitra strategis dalam gerakan pemberontakan houthi di Yaman. Iran juga mendapatkan otoritas gratis di Irak dari Amerika Serikat. Kesemua itu tidak lepas dari kepentingan geopolitik Iran dalam rangka penguasaan teritorial di Timur Tengah.
Oleh karena itu, dapat dimengerti maksud dan tujuan Iran dalam propaganda internasionalisasi Makkah dan Madinah, tidak lain tidak bukan adalah guna ekspansi ideologi dengan menjadikan kedudukan waly al-faqih sebagai pemimpin transnasional, sebab ia adalah wakil sang Imam yang dalam masa kegaiban besar. Pada saatnya, ketika Imam Mahdi mucul menjelang “al-Malhamah al-Kubro” (Armageddon), maka kekuasaan akan dikembalikan kepadanya. Perlu dicatat, bahwa Imam Mahdi bukanlah sebagaimana yang diklaim oleh penganut Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyyah, tegasnya suatu a-historis. Imam Mahdi, akan muncul dari Madinah – bukan tempat yang lainnya – dan akan dibai’at di Makkah, tepatnya didepan Ka’bah pada saat pelaksanaan ibadah Haji.
Dapat disimpulkan, bahwa propaganda internasionalisasi Makkah dan Madinah oleh Iran selain terkait dengan ekspansi ideologi dan memperluas penguasaan teritorial adalah juga dimaksudkan untuk propaganda kehadiran Imam Mahdi yang hendak dideklarasikan, bisa pada masa kekuasaan Ali Khamenei saat ini maupun setelahnya, entah kapan?
Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Pakar Ideologi Transnasional Syiah Iran
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net