Penulis: Prihandoyo Kuswanto
Suaramuslim.net – Genderuwa (dalam pengucapan Bahasa Jawa: Genderuwo) adalah mitos Jawa tentang sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud mirip manusia.
Terkait dengan hantu genderuwo yang kabarnya sangat usil dan suka mengganggu manusia, ada beberapa mitos jika bertemu dengan hantu yang satu ini.
Entah apa yang ada di pikiran seorang Presiden sehingga mengatakan ungkapan ‘politik genderuwo’. Disampaikan Presiden Jokowi saat pidato pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, hari ini (10/11).
Dalam kesempatan itu, presiden menyebut saat ini banyak politikus yang pandai mempengaruhi. Banyak yang tidak menggunakan etika dan sopan santun politik yang baik.
“Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut, yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat menjadi, memang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga, menjadi ragu-ragu masyarakat, benar nggak ya, benar nggak ya?” Katanya.
Ya, saya juga tidak mengerti apakah yang dimaksudkan itu arahnya ke Bupati Boyolali yang mengunakan politik “asu” dan dalam pidatonya sangat jorok dan jauh dari sopan santun, atau pada Budiman Sujadmiko yang ngomong di TV menyerang Prabowo tanpa sopan santun, atau siapa sasaran tembaknya presiden?
Justru apa yang dituduhkan Pak Jokowi telah dilakukannya sendiri. Naiknya dolar yang menggilas rupiah sesungguhnya membuat rakyat ketakutan dan merasakan adanya ketidakpastian. Ketika petani melakukan panen raya justru pemerintah mengimpor beras, sehingga terjadi ketakutan.
Saya pikir apa yang menjadi diksi politik genderuwo dan sontoloyo Pak Jokowi memang benar adanya.
Yang paling menakutkan ketika aktivis #2019GantiPresiden dipersekusi di mana-mana dan diciptakan para preman untuk menghadang para relawan ini.
Siapa yang menciptakan politik genderuwo untuk menghadang gerakan masyarakat yang ingin menyampaikan suara hati nuraninya? Dihabisi dan dipersekusi karena tidak sejalan dengan penguasa. Inilah politik genderuwo yang sesungguhnya dan sudah dijalankan.
Para ulama dan dai ditakut-takuti dengan memperkusi dan menyensor masjid untuk tidak bicara politik. Ini juga politik genderuwo yang menakut-nakuti umat Islam.
Persoalannya, umat Islam tidak akan pernah takut kalau hanya sekadar genderuwo, sebab umat Islam hanya takut kepada Allah, bukan setan yang bernama genderuwo.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin menuduh rakyatnya melakukan politik genderuwo dan sontoloyo, mana kala kekuasaan justru dijalankan dengan diksi politik genderuwo dan sontoloyo?
Oleh sebab itu, jika memang Pancasila menjadi dasar negara, harusnya seorang presiden bicaranya adalah Pancasila sebagai Meja Statis dan Lietstar Dinamis, maka cara berpolitiknya menjadikan Pancasila sebagai bintang penunjuk arah, bukannya membuat diksi politik genderuwo dan sontoloyo.
*Ketua Rumah Pancasila