Suaramuslim.net – Jokowi, sebagai Petahana yang tidak mengambil cuti saat kampanye benar-benar menjadi sorotan publik. Hal ini dikhawatirkan terjadi penggunaan fasilitas negara saat kampanye. Di sinilah terjadi dualisme dalam diri Jokowi, antara sebagai calon presiden (capres) dan sebagai presiden. Bahkan masyarakat tidak bisa membedakan Jokowi sebagai presiden atau capres ketika kampanye. Jokowi sendiri berdalih bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi peluang pada incumbent boleh “tidak mengambil cuti”. Inilah yang menjadi krusial karena berpotensi besar bagi incumbent untuk menggunakan fasilitas negara selama kampanye.
Dalam konteks ini, terdapat sebuah ruang bagi Jokowi untuk mengakal-akali aturan, dengan berdalih tidak apa-apa bagi seorang Petahana untuk tidak mengambil cuti. Persoalan kembali muncul karena ada unsur ketidakadilan di mana salah satu capres menggunakan fasilitas negara sementara yang lain tidak. Padahal aturan cuti, bagi Petahana, diterapkan sebagai salah satu cara untuk memotong akses kandidat menggunakan fasilitas negara selama berkampanye. Di mata publik, tidak mengambil cuti merupakan sebuah pelanggaran etika bagi Petahana sekaligus tidak mendidik masyarakat untuk taat pada aturan yang berlaku.
Jokowi dan Penggunakan Fasilitas Negara
Sebagai Petahana, Jokowi memiliki peluang besar untuk menggunakan fasilitas negara bila tidak mengambil cuti. Dalam berbagai kegiatan kenegaraan, Jokowi selama ini disorot untuk melakukan kampanye, baik secara terselubung maupun secara terbuka. Misalnya saat membuka atau menutup sebuah acara, baik di ormas maupun komunitas, atau kunjungan kerja di instansi pemerintahan atau pasar, maka dia berpeluang besar untuk menyampaikan pesan dan mengarahkan pandangan audiens yang hadir untuk memilihnya.
Bahkan di acara-acara yang sangat teknis, petahana ini bisa membagikan sertifikat tanah secara langsung, termasuk yang secara simbolis memasang instalasi listrik di sebuah pemukiman. Bahkan dia bisa mengumpulkan kepala daerah atau kepala desa untuk membuat komitmen mengawal dirinya guna memenangkan pertarungan pada 17 April 2019. Dia juga berpeluang untuk menggunakan aparatur negara, baik sipil maupun tentara untuk memenangkan pertarungan dengan mengerahkan mereka untuk mendukung pemenangan dia.
Di berbagai kesempatan, dia juga melakukan tekanan politik terhadap pihak-pihak berpeluang besar meruntuhkan atau menurunkan elektabilitasnya. Dengan menggunakan tangan kepolisian atau pengadilan, bisa segera memproses dan memutuskan perkara bagi siapa pun yang berpeluang menurunkan elektabilitasnya. Dengan cara ini, mereka bisa menciptakan efek jera terhadap berbagai pihak yang merugikan dirinya. Betapa banyak pihak-pihak yang dianggap merugikan petahana langsung diproses secara hukum dan tidak sedikit yang dijebloskan ke dalam penjara.
Masyarakat berharap incumbent untuk bisa berkompetisi secara adil dan menghindarkan diri dari penyalahgunaan fasilitas negara untuk pemenangan pilpres ini. Bila cuti diambil, maka Jokowi fokus berkampanye dan tidak lagi ada tumpang tindih antara sebagai capres atau presiden, di mana satu waktu dia menyatakan dirinya sebagai capres tetapi juga melakukan kampanye secara terbuka dengan menggunakan fasilitas negara.
Kasus salah seorang menteri yang menyatakan bahwa Aparat Sipil Negara (ASN) dibayar penguasa (bukan negara) atau menyebut pembangunan infrastuktur jalan tol sebagai karya dan upaya Jokowi, merupakan sebuah kekeliruan. Karena semua itu dibiayai oleh negara, bukan pribadi. Karena sasarannya adalah mempengaruhi publik untuk memilih dirinya sebagai presiden, maka segala cara itu ditempuh. .
KPU dan Pentingnya Netralitas
Peran Komisi Pemilian Umum (KPU) seharusnya menjadi wasit yang netral dan bertindak secara tegas untuk menegakkan aturan main dari seluruh proses pilpres dari awal hingga puncak perhelatan pilpres 2019. Masyarakat berharap KPU berani menegur siapa pun yang melakukan pelanggaran, termasuk presiden yang tidak mengambil cuti dan mengunakan fasilitas negara saat kampanye. Bukan sebaliknya, di mana KPU bertindak sebagai kanal bagi incumbent dalam memenangkan pertarungan secara tidak adil.
Ketidaknetralan inilah yang membuat KPU tidak berfungsi sebagai wasit terhadap capres secara adil tetapi justru bertindak sebagai institusi yang condong dan memberi peluang kepada salah satu capres bertindak menyimpang dari aturan.
Ketika ada desakan untuk cuti, Jokowi justru berdalih bahwa aturan bergantung pada KPU yang membolehkan bagi petahana untuk tidak mengambil cuti. Maka di sinilah celah yang dimanfaatkan incumbent untuk berlindung di balik aturan, sehingga memberi peluang padanya untuk menggunakan fasilitas negara saat kampanye. Penegakan aturan main ini sangat penting dilakukan agar menghindari penyimpangan.
Bentuk penyimpangan itu misalnya, adanya bagi-bagi kartu, seperi Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Pra Kerja. Di sini terlihat capres petahana yang secara terang-terangan melakukan kampanye terbuka tetapi difasilitasi negara. Hal ini jelas sebagai sebuah pelanggaran. Di sini peran KPU sangat vital untuk meluruskan.
Warga negara menginginkan terpilihnya presiden secara demokratis dan elegan. Seluruh proses dilalui tanpa melanggar aturan dan menabrak prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama. Sehingga hasil dari sistem demokrasi tidak cacat hukum. Dengan kata lain, rakyat menginginkan lahirnya pemimpin yang kapabel dengan memberi teladan yang baik dengan menaati kesepakatan bersama. Cuti merupakan salah satu cara untuk mengeliminir penyimpangan dari petahana, namun ketika hal itu dilanggar maka tidak salah apabila masyarakat terbentuk opini bahwa petahana telah melakukan kecurangan dalam proses pilpres ini.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net