Suaramuslim.net – Tunjangan sejatinya adalah setiap tambahan benefit yang ditawarkan pada pekerja, misalnya pemakaian kendaraan perusahaan, makan siang gratis, bunga pinjaman rendah atau tanpa bunga, jasa kesehatan, bantuan liburan, dan skema pembelian saham. Tunjangan diberikan atas sebuah kerja atau keahlian yang sudah dilakukan oleh seseorang kepada pemilik pekerjaan atau penerima manfaat pekerjaan.
Tunjangan bersifat sukarela, kalau memang ada kelebihan dan direncanakan, maka sebuah tunjangan sebaiknya diberikan. Namun sebaliknya bila persediaan untuk memberi tunjangan tidak ada dan tidak direncanakan, maka sebaiknya juga tidak dilakukan. Sebab kalau dilakukan, pasti akan mengganggu atau mengubah perencanaan yang lainnya.
Tunjangan hari raya merupakan sesuatu yang rutin terjadi, tetapi tidak harus juga menjadi sebuah kewajiban. Mengapa? Tunjangan hari raya atau hari besar keagamaan yang lain, merupakan sebuah nilai yang bertolak belakang dari ajaran keagamaan itu sendiri. Apalagi kalau pengadaannya dipaksakan dan bahkan melanggar aturan yang ada, tentu akan banyak menimbulkan masalah.
Agama mana pun tentu melarang untuk konsumtif, apalagi di tengah negara dalam keadaan yang memprihatinkan. Seringkali tunjangan hari raya tidak bernilai edukasi. Jarang sekali tunjangan hari raya digunakan untuk pembiayaan anak sekolah atau hal lain yang bermanfaat di luar nilai konsumtif. Sehingga kadang terasa sekali bahwa maksud baik dari tunjangan hari raya tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Rasanya malu sekali ketika negara tetangga Malaysia melakukan penghematan anggaran dengan memotong gaji para pejabatnya untuk menyelamatkan krisis negara, kita yang katanya negara Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, justru menjauh dari nilai-nilai itu.
Negara justru menjadi pemicu perilaku melanggar aturan yang ada. Sehingga menimbulkan gejolak dan “perlawanan” dari beberapa kepala daerah, karena pembayaran tunjangan hari raya tidak ada sumber dananya dan berpotensi pelanggaran yang menyeret mereka pada tindak pidana korupsi.
Potret perbedaan pendapat tentang pemberian tunjangan diperlihatkan dengan sangat tajam antara Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo yang membolehkan pembayaran tunjangan hari raya melalui APBD namun ditentang oleh Tri Rismaharini, walikota Surabaya. “Duit dari mana ini?”, begitu ujar Risma, menanggapi pernyataan Tjahyo.
Meneguhkan Kembali Sikap Keagamaan
Sikap keagamaan berpegang pada sesuatu yang boros merupakan perilaku dosa. Maka kemudian dalam perilaku keagamaan diarahkan pada aktifitas sedekah bila mempunyai kelebihan.
Tunjangan hari raya merupakan hak bagi para pekerja, tapi akan menjadi sesuatu yang jauh dari keadilan, kalau diambilkan dari APBD. Bukankah APBD adalah uang rakyat yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat?
Pemberian tunjangan hari raya kepada PNS dan pejabat, sejatinya melukai rasa keadilan. Karena kondisi rakyat justru lebih menderita dibanding mereka yang PNS dan pejabat.
Meneguhkan kembali sikap keagamaan itu berarti ada rasa malu dalam diri menerima sesuatu yang dirasa tidak layak. Tentu saja ini berkaitan bagaimana para tokoh agama mengedukasi umatnya agar tidak boros. Tidak banyak para tokoh agama yang mengajarkan tentang hidup sederhana, malu menerima pemberian di saat masih ada yang lebih layak untuk menerima.
Nah, kembali pada tunjangan hari raya yang bersumber dari APBD dan diberikan pada kelompok tertentu, ada baiknya tidak dilakukan, saya lebih setuju seluruh kepala daerah justru malah menghimpun zakat mal dan fitrah di seluruh lingkungan pekerjaannya, dan hasilnya disumbangkan kepada negara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Semoga saja!
*Surabaya, 8 Juni 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net