JAKARTA (Suaramuslim.net) – Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof. Dr. Din Syamsudin menyebut kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim tentang Program Organisasi Penggerak (POP) pendidikan adalah kebijakan yang tidak bijak dan tidak populis (merakyat).
“Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan kemudian PGRI dari program tersebut menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar. Jelas hal ini menunjukkan Mendikbud tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia dan peran organisasi-organisasi kemasyarakatan khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional,” ujar Din dalam rilis yang diterima Suaramuslim.net, Kamis (30/7).
Muhammadiyah dan NU, khususnya, adalah pelopor pendidikan di Indonesia. Mereka bersama yang lain adalah stake holders sejati pendidikan nasional. Sementara, yayasan atau foundation seperti Sampoerna atau Tanoto hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa, dibandingkan dengan keuntungan yang mereka raup dari tanah dan air Indonesia.
“Jadi kalau mereka yang dimenangkan atau dilibatkan dalam POP sungguh merupakan ironi sekaligus tragedi,” tegas mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini.
Namun, imbuh Din, kesalahan bukan pada Nadiem Makarim. Dia hanya seorang anak muda, yang mungkin karena lebih banyak berada di luar negeri maka tidak cukup memiliki pengetahuan dan penghayatan tentang masalah dalam negeri, dan hanya memiliki obsesi yang tidak menerpa di bumi.
“Yang sangat bersalah dan patut dipersalahkan, serta harus bertanggung jawab, pada pendapat saya, adalah Presiden Jokowi sendiri. Dialah yg berkeputusan mengangkat seorang menteri, walaupun menyempal dari fatsun politik yang berlangsung dari waktu ke waktu. Atau, jangan-jangan Presiden Jokowi sendiri tidak cukup memahami sejarah kebangsaan Indonesia dan berani mengambil keputusan yang meninggalkan kelaziman politik,” ujarnya.
Paling tidak, lanjut Din, Presiden terkesan mengabaikan dua organisasi besar yg berjasa menegakkan kemerdekaan Indonesia. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Sebaiknya program itu dihentikan. Lebih baik Kemendikbud bekerja keras dan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa yang akibat pandemi Covid-19 telah menimbulkan the potential loss bahkan generation loss (hilangnya potensi dan hilangnya generasi).
“Pemerintah tidak hadir melindungi rakyat. Pemerintah tidak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan. Pemerintah tidak pernah berpikir, umpamanya, membebaskan kuota internet sehingga anak-anak bangsa bisa belajar dalam jaringan atau jarak jauh. Kemendikbud “memaksakan” belajar daring atau jarak jauh tapi tidak menyiapkan infrastruktur untuk itu. Anggaran yang diklaim untuk penanggulangan Covid-19 tidak dialokasikan untuk membantu anak-anak rakyat yang terpaksa belajar dari rumah dalam keterbatasan dan kekurangan,” beber Din Syamsudin.
Reporter: Chamdika Alifa
Editor: Muhammad Nashir