Suaramuslim.net – Presiden Jokowi berduka. Ibundanya telah tiada. Sebelum meninggal, Sudjiatmi Notomihardjo, nama ibunya, harus melawan kanker selama 4 tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk melawan penyakit seganas itu. Namun kekuatan itu harus dibayar lunas: hilang untuk selamanya.
Saya ingin berhenti pada paragraf di atas. Membahas Jokowi sebagai manusia dahulu, sebelum membincang Jokowi sebagai presiden. atau lebih jauhnya: Sebagai lawan politik, kebijakan yang lamban, tidak pernah pro rakyat kecil. Itu dulu.
Jokowi, sama seperti manusia pada umumnya. Memiliki kemungkinan rasa sakit saat kehilangan. Ibundanya, orang yang melahirkannya, telah hilang untuk selama-lamanya. Belum sukses memulangkan Virus Corona, Jokowi terlebih dahulu kepulangan ibundanya.
Namun rasanya perihal kemanusiaan tidak semua menerima. Ada beberapa, atau bisa dibilang sebagian masyarakat melihat kematian ibunda jokowi sebagai sebuah syukur yang harus dirayakan.
**
Saya melihat beberapa grup WhatsApp yang menghujam Jokowi dengan nada menghujam. Mereka banyak nyinyir nada menyindir. Berikut beberapa kalimat yang berhasil saya rangkum:
“Saya lihat di grup ini tidak ada yang berbela sungkawa dengan ibundanya Jokowi, bagus, sama dengan grup-grup lain,” ujar salah seorang anggota grup.
Grup yang lain, “sudah tidak perlu dibela sungkawani.”
Di salah satu grup Facebook, ada yang mengatakan, “Ibundanya Jokowi tidak perlu di kain kafani putih, itu kan budaya Arab, Jokowi kan penganut paham Nusantara.”
Bahkan ada yang lebih parah, “Maknya Jokowi mati modar. Syukur rasain, tunggu gak lama lagi kau yang nyusul.. Amin..”
Saya kira masih banyak kalimat serupa yang terucap. Juga nada nyinyir dan nyindir dengan berbagai macam ragam bentuk, kata, yang entah itu serius atau sekadar bercanda.
***
Bila dihitung, rasa sakit hati masyarakat Indonesia kepada Jokowi banyak sekali. Saya sendiri sering kali mangkel dengan berbagai kebijakannya yang lamban dan banyak yang tidak pro rakyat kecil. Sangat berlainan saat ia ucapkan dalam janji kampanye.
Namun kali ini kematian. Tidak ada sangkut pautnya dengan kebijakan Jokowi selama memimpin. Kalau toh ibundanya Jokowi pernah memberi sepatah kata kepada Jokowi, itu bukan untuk kebijakan, melainkan nasihat seorang ibu kepada anak.
Dulu, saat saya menerima mata pelajaran di sekolah, tetiba salah seorang guru datang masuk kelas. Terlihat ia habis menerima telepon. Setelah meminta izin masuk kelas, dia langsung memeluk dengan ekspresi sedih.
“Sabar ya, ayuk tidak usah ikut pelajaran, kami antar pulang ke rumah,” ujarnya.
Bayangkan, saat itu saya masih kelas 1 SMP. Tidak tahu apa-apa, langsung disuruh sabar dan diantar pulang ke kampung halaman.
“Ini ada apa ya, kok semua sekeliling berekspresi sedih?” Guman saya.
Setelah sampai ke kampung halaman dan tiba di rumah, di sana sudah banyak orang, menangis. Bersedih.
Masuk ke rumah, saya baru sadar kakak saya yang juga menjadi guru di pondok pesantren tadi sudah berkain kafan. Meninggal dunia di usia yang masih sangat muda.
Saya mematung. Tidak bisa berkata dan berbuat apa pun kecuali air mata yang basah. Guru-guru dari pesantren tadi juga berlaku demikian.
Saya bisa membayangkan bagaimana kondisi hati Jokowi saat dikabari orang tuanya telah tiada. Terlebih saat akhir-akhir hidupnya tidak bisa mendampingi sang ibunda.
Meski harus ikhlas menerima kepergian itu. Namun kenangan-kenangan dengan orang yang mendahului menghadap Ilahi tentu masih terus membekas.
Di titik ternadzir kondisi manusia, masih banyak juga yang tidak menyadari Jokowi juga sebagai seorang manusia. Kematian orang tuanya masih saja dibuat guyon, disumpah serapahi dengan kata-kata yang tidak berperikemanusiaan.
Sering kita lupa dengan pesan bijak terdahulu, boleh berbeda pandangan, mengkritik segala kebijakan seseorang. Namun yang dikritik adalah kebijakannya, bukan orangnya.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net