Elaborasi Tradisi Intektual dan Tradisi Entrepreneur Perempuan di Tengah Budaya Patriarki

Elaborasi Tradisi Intektual dan Tradisi Entrepreneur Perempuan di Tengah Budaya Patriarki

Alfiah Sufiani, SE (Kandidat Presidium FORHATI Jawa Timur).

Suaramuslim.net – Tradisi entrepreneur perempuan pertama, adalah Khadijah binti Khuwailid. Entrepreneur cerdas, kaya raya, jago strategi. Dan dari perjalanan bisnis internasionalnya Khadijah, para ekonom dunia Barat merumuskan teori Merkantilisme perdagangan internasional.

Merkantilisme berpandangan jika kekayaan suatu negara dihitung dengan emas dan perak. Teori ini beranggapan jika kegiatan ekspor harus dilakukan sesering mungkin dan kegiatan impor dilakukan seminim mungkin, agar negara menjadi lebih kuat dan kaya.

Di zaman Rasulullah, sejarah banyak sekali mencatat para perempuan yang sangat kuat tradisi keilmuannya. Misalnya, Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah SAW yang memiliki keterampilan khusus dalam hal administrasi. Aisyah juga menguasai ilmu hadis, fikih, seorang pendidik, dan seorang orator.

Fatimah binti Muhammad, sama seperti Aisyah, Fatimah juga banyak meriwayatkan perkataan, nasihat, dan peristiwa-peristiwa penting yang dialami ayahnya. Hadis-hadis yang diriwayatkan Fatimah sebenarnya banyak membantu kita memahami kedudukan perempuan dalam Islam.

Namun, setelah Islam berubah menjadi dinasti, sejak Dinasti Umayyah di Jazirah Arab dan sekitarnya (651-750 M), Dinasti Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M), hingga Dinasti Utsmaniyah atau Ottoman di Turki (1299-1923), Perempuan seolah-olah “dipaksa mundur” dari ruang publik dan hanya fokus di sisi domestik saja.

Konstruksi politik yang tidak berpihak pada perempuan menjadikan pasca periodisasi Dinasti, terjadi kemunduran dalam sejarah Islam tentang peran aktif perempuan di ranah publik dalam meneruskan tradisi intelektual dan tradisi entrepreneur.

Kita tidak lagi membaca sosok perempuan yang kuat tradisi intelektual dan tradisi entrepreneurnya seperti di generasi awal zaman Rasulullah hingga di abad pertengahan.

Mengacu pada sejarah di atas, maka perlu terus digaungkan keterlibatan aktif perempuan di ranah publik, bukan sebagai follower, namun sebagai penggerak, pelopor, pengabdi dan pejuang untuk mencerdaskan dan memandirikan kaum perempuan.

Dengan berbasis pada keluarga, ketika pilar rumah tangganya kokoh terhunjam kuat tauhid dan akidah, maka apalagi yang perlu dikhawatirkan dari negeri ini?

Pemberdayaan perempuan adalah sebuah proses penyadaran pada perempuan tentang kesejatian dirinya, bahwa Allah menciptakannya sebagai sesempurna makhluk sebagaimana para lelaki.

Allah memberikan ruang yang sama dalam hal optimalisasi fungsi berpikirnya kaum perempuan dan lelaki. Bahwa kemudian Allah mengistimewakan perempuan sebagaimana di Q.S. Al-Ahqaf ayat 15, yaitu hamil, melahirkan dan menyusui, itu tidak menjadikannya seorang yang lemah.

Perhatikanlah di Q.S. At-Tahrim ayat 11, Allah membangun rumah di surga pada perempuan pejuang sekelas Asiyah istri Firaun. Kenapa beliau begitu istimewa? Karakter pejuang dan pengabdianya sangat luar biasa, bahkan di bawah tekanan suaminya yang sangat zalim sekalipun, akidahnya terhunjam kokoh.

Pekerjaan rumah yang masih sangatlah panjang dan tidak bisa dikerjakan oleh satu pihak saja. Harus ada good will dari seluruh elemen bangsa dan organisasi-organisasi perempuan bagaimana mengelaborasi kedua tradisi tersebut di kalangan perempuan. Dan Forhati, sebagai salah satu elemen, harus mengambil peran serta secara aktif dan dinamis kedua tradisi tersebut. Dan berkomunikasi secara sehat dengan elemen-elemen anak negeri yang lain.

Wallahu a’lam

 

Alfiah Sufiani, SE
(Kandidat Presidium FORHATI Jawa Timur)
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis opini. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment