Suaramuslim.net – Jegal Anies! Begitulah kira-kira narasi singkat dari sekjen PSI, Raja Juli Antoni. Sejak beberapa lembaga survei merilis hasil bahwa Anies makin populer dan tinggi elektabilitasnya, sejumlah pihak galau. Termasuk PSI. Anies harus dijegal jadi presiden 2024, katanya.
Pertama, pilpres 2024 masih lama. Empat tahun lagi. Kedua, Anies sendiri belum pernah menyatakan akan maju di pilpres 2024. Bahkan ketika sebagian pendukungnya mau deklarasi, Anies panggil dan cegah. Ketiga, Anies selalu menyatakan ingin fokus kerja untuk Jakarta. Menunaikan 23 janji politiknya, dan memberikan pelayanan terbaik untuk warga Jakarta. Target Jakarta “Maju Kotanya Bahagia Warganya” sedang terus diikhtiarkan dengan kemampuan terbaik dari yang dimiliki.
Kenapa harus galau? Tanya publik.
Galau karena kebijakan Anies tidak kompromistis dengan para cukong dan mafia bisnis di ibu kota? Boleh jadi. Selama ini Anies telah menghambat sejumlah bisnis reklamasi, apartemen dan dunia hiburan. Bukan menghambat, tepatnya mencegah bisnis yang melanggar aturan dan atau merugikan rakyat.
Salah seorang pentolan PSI menuduh bahwa Anies hanya bisa bicara, nol kerja. Tuduhan ini mirip para buzzer yang entah siapa yang mengordinasinya. Sebaiknya cek data dan fakta. Ini akan terasa lebih obyektif.
Macet di Jakarta berkurang. Dari peringkat empat dari 416 kota termacet di dunia tahun 2011, jadi peringkat ketujuh tahun 2019. Dan tahun 2020 jadi peringkat ke 10. Dan sedang diupayakan untuk keluar dari sepuluh besar. Ini bukan opini, asumsi atau klaim. Tapi ini data resmi dari Tom Tom Traffic Index. Masuk akal, karena pengguna transportasi umum dua tahun terakhir ini naik drastis. Dari 338 ribu penumpang, sekarang sudah tembus satu juta lebih.
Banjir Jakarta, wilayah terdampak semakin menyempit, jumlah pengungsi makin berkurang, dan durasi waktunya makin pendek. Banjir surut setelah empat hari. Di era dua gubernur sebelumnya banjir surut setelah tujuh hari. Ini angka statistik dari lembaga semacam BPBD, Bappenas dan BMKG. Ini data dan bisa dicek. Mesti berbasis data, bukan survei persepsi responden di 34 provinsi.
Pembangunan kota, terutama di jalan-jalan protokol. Trotoar untuk pejalan kaki semakin lebar dan nyaman, jalur sepeda sudah dibuat, ratusan taman dan lokasi penghijauan dibangun, Monas dan Taman Ismail Marzuki dalam proses revitalisasi, Masjid Apung di atas laut, unik dan artistik akan jadi icon baru di Ancol. Stadion bertaraf internasional sedang dalam proses pembangunan.
Soal penghargaan, BPK, KPK dan sejumlah kementerian telah menganugerahkannya kepada Anies selaku pemimpin daerah. Ini prestasi yang boleh dianggap telah membedakan dengan sejumlah gubernur sebelumnya. Tentu, tak bermaksud membandingkan, karena itu tak etis. Setiap gubernur punya karya yang harus diapresiasi. Tapi setidaknya, ini bukti adanya pengakuan terhadap kinerja gubernur DKI.
Ini semua adalah data dan fakta. Soal opini bisa dibangun dengan berbagai tafsir dan persepsi, tapi seringkali justru keluar dan bertentangan dengan data dan fakta yang ada. Nah, kalau sudah sampai di opini, maka akan bergantung siapa mendukung siapa. Bukan lagi bergantung pada data di lapangan. Dan persepsi seringkali gak memiliki standar obyektifitas.
Ada kekurangan, kelemahan dan mungkin pekerjaan yang belum selesai di DKI, itu pasti. Tak ada pemimpin yang sempurna. Dua tahun lebih waktu tersisa adalah kesempatan bagi Anies untuk menuntaskan pekerjaan yang belum selesai. Bisa dimanfaatkan juga untuk mengurangi tingkat kekurangan dan kesalahan, sekecil apa pun, pasti ada. Salah ketik, itu salah satunya. Mosok hanya salah ketik disuruh mundur? Ngaco ah!
Kalau kemudian hasil kerja Anies diapresiasi rakyat, lalu rakyat menilai Anies layak jadi presiden, tentu bukan sesuatu yang keliru. Itu hak rakyat untuk menilai dan punya harapan. Berharap kok dilarang? Yang pasti, Anies tahu diri dan nampak teguh dalam menjaga etika berpolitik. Anies tak merespons harapan rakyat itu, kecuali hanya dengan senyum.
“Saya diberi amanah di Jakarta, tugas saya adalah menuntaskan janji dan bekerja yang terbaik untuk warga Jakarta,” demikian kata Anies. Tetap cool dan santun.
Meski ada saja orang yang menilai Anies gubernur yang merasa seperti presiden. Dari mana melihatnya ya? Ini penilaian yang menurut saya juga kebablasan. Karena sampai hari ini belum ada indikator yang menunjukkan bahwa Anies bersikap layaknya presiden. Kalau performa dan kapasitasnya dinilai layak duduk di istana, itu tak bisa dijadikan tuduhan bahwa Anies merasa jadi presiden. Gak perlu harus galau.
Makin galau, dan makin nyinyir terhadap Anies justru akan selalu memperbesar ruang buat rakyat untuk lebih kenal terhadap Anies dan akhirnya memperbesar apresiasi. Selama Anies tetap cool, santun, dan tidak bereaksi negatif dalam merespons sikap nyinyir dan segala bentuk bullyan itu, maka tidak saja popularitas, tapi gelombang dukungan kepada Anies akan semakin membesar. Dan selama ini, proses itu telah berjalan.
Kalau dibuat rumusnya: (cacian lawan + senyum Anies = gelombang dukungan). Tentu faktor keberhasilan kerja tetap jadi variabel yang tak kalah pengaruhnya, terutama bagi kelompok rakyat yang lebih rasional. Kelas ekonomi dan pendidikan menengah akan selalu lihat hasil kinerja.
Dengan berbagai data di atas, yang tentu saja bisa dicek dan diklarifikasi, masih relevankah untuk mengatakan bahwa Anies gak bekerja? Keterlaluan! Dan akhirnya publik menilai bahwa kesimpulan macam ini hanya bisa keluar dari pernyataan orang-orang yang sedang galau. Gak cerdas!
Jakarta, 23 Februari 2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net