Fadli Zon Minta Maaf ke Mbah Moen karena Puisi ‘Doa yang Ditukar’

Fadli Zon Minta Maaf ke Mbah Moen karena Puisi ‘Doa yang Ditukar’

Fadli Zon akan meminta maaf kepada Mbah Maimun Zubair, foto: Dok. Istimewa

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Wakil Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon kembali menegaskan dirinya tidak menyasar KH Maimun Zubair (Mbah Moen) dengan puisi ‘Doa yang Ditukar’.

Fadli meminta maaf kepada Mbah Moen karena puisinya menurutnya telah disalahartikan dan menimbulkan ketidaknyamanan.

“Puisi saya, ‘Doa yang Ditukar’, hingga hari ini terus digoreng oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menyebarkan fitnah dan memanipulasi informasi. Saya difitnah telah menyerang KH Maimoen Zubair melalui puisi tersebut. Tuduhan tersebut sangat tidak masuk akal, mengingat saya sangat menghormati KH Maimoen Zubair dan keluarganya,” kata Fadli Zon seperti yang dilansir dari Kantor Berita Antara, Selasa (19/2).

Fadli tak ingin timbul fitnah akibat berlarut-larutnya polemik puisi ‘Doa yang Ditukar’ yang terus dipermasalahkan sejumlah pihak.

“Dalam waktu dekat Insyaallah saya mungkin akan bersilaturahim ke KH Maimoen Zubair. Meskipun puisi saya-sekali lagi-tidak pernah ditujukan untuk beliau. Sebagai salah satu aktor politik saya ingin meminta maaf karena kontestasi politik yang terjadi saat ini mungkin telah membuat beliau dan keluarga menjadi tidak nyaman akibat gorengan orang-orang yang tak bertanggung jawab,” kata Fadli dalam salah satu poin klarifikasinya.

Berikut klarifikasi lengkap Fadli Zon soal puisi ‘Doa yang Ditukar.’

1. Saya sangat menghormati KH Maimoen Zubair, baik sebagai ulama, maupun sebagai pribadi yang santun dan ramah. Beberapa kali saya bertemu dengan beliau. Beberapa di antaranya kebetulan bahkan bertemu di tanah suci Mekah, di pesantren Syekh Ahmad bin Muhammad Alawy Al Maliki, di Rusaifah.

2. Di tengah pembelahan dikotomis akibat situasi perpolitikan di Tanah Air, saya selalu berpandangan agar penilaian kita terhadap para ulama sebaiknya tidak dipengaruhi oleh penilaian atas preferensi politik mereka. Hormati para ulama sama seperti halnya kita menghormati para guru atau orang tua kita.

3. Justru karena saya sangat menghormati KH Maimoen Zubair, saya tidak rela melihat beliau diperlakukan tidak pantas hanya demi memuluskan ambisi politik seseorang ataupun sejumlah orang. Inilah yang telah mendorong saya menulis puisi tersebut. Saya tidak rela ada ulama kita dibegal dan dipermalukan semacam itu.

4. Secara bahasa, puisi yang saya tulis tidaklah rumit. Bahasanya sengaja dibuat sederhana agar dipahami luas. Hanya ada tiga kata ganti dalam puisi tersebut, yaitu ‘kau’, ‘kami’ dan ‘-Mu’. Tak perlu punya keterampilan bahasa yang tinggi untuk mengetahui siapa ‘kau’, ‘kami’ dan ‘-Mu’ di situ. Apalagi, dalam bait ketiga, saya memberikan atribut yang jelas mengenai siapa ‘kau’ yang dimaksud oleh puisi tersebut.

5. Pemelintiran seolah kata ganti ‘kau’ dalam puisi tersebut ditujukan kepada KH Maimoen Zubair jelas mengada-ada dan merupakan bentuk fitnah. Tuduhan tersebut bukan hanya telah membuat saya tidak nyaman, tapi juga mungkin telah membuat tidak nyaman keluarga KH Maimoen Zubair. Kami dipaksa seolah saling berhadapan, padahal di antara kami tidak ada masalah dan ganjalan apa-apa.

6. Keluarga KH Maimoen Zubair, melalui puteranya, KH Muhammad Najih Maimoen, telah memberikan penjelasan bahwa beliau menerima klarifikasi saya bahwa kata ganti ‘kau’ memang tidak ditujukan kepada KH Maimoen Zubair. Tanpa klarifikasi dari saya pun, beliau sendiri berpandangan jika kata ganti ‘kau’ memang ditujukan kepada orang lain, bukan Mbah Moen.

Beliau juga menjelaskan jika aksi massa yang telah menggoreng isu ini bukan berasal dari kalangan santrinya, melainkan digoreng oleh pihak luar.

7. Sekali lagi saya sampaikan bahwa puisi itu sama sekali tidak pernah ditujukan kepada KH Maimoen Zubair. Penjelasan ini sejak dini juga telah saya sampaikan kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat ia tabayun melalui akun media sosialnya. Sudah saya jawab dengan tegas dalam tabayun bahwa kata ganti ‘kau’ pada puisi itu adalah ‘penguasa’, bukan KH Maimoen Zubair.

8. Guru-guru saya banyak berasal dari ulama dan kiai NU, termasuk almarhum KH Yusuf Hasyim, putra Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Saya juga bersahabat karib dengan KH Irfan Yusuf dan keluarganya, yang merupakan cucu Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Begitu juga halnya dengan putera pendiri NU yang lain. KH Hasib Wahab Abdullah, yang merupakan putera KH Wahab Hasbullah, adalah sahabat saya sejak puluhan tahun silam. Saya bahkan pernah jadi Dewan Penasihat Pencak Silat NU Pagar Nusa. Itu sebabnya saya juga sangat menghormati NU.

9. Itu sebabnya saya tidak pernah mendudukkan para ulama dan kiai berdasarkan preferensi politiknya. Politik mudah sekali berubah, sementara penghormatan kita kepada orang-orang alim seharusnya selalu ajeg.

10. Dalam waktu dekat Insyaallah saya mungkin akan bersilaturahim ke KH Maimoen Zubair. Meskipun puisi saya-sekali lagi-tidak pernah ditujukan untuk beliau, sebagai salah satu aktor politik saya ingin meminta maaf karena kontestasi politik yang terjadi saat ini mungkin telah membuat beliau dan keluarga menjadi tidak nyaman akibat gorengan orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment