Suaramuslim.net – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2002 setelah menimbang:
- Bahwa anak bangsa, khususnya balita, perlu diupayakan agar terhindar dari penyakit Polio, antara lain melalui pemberian vaksin imunisasi;
- Bahwa dalam program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2002 ini terdapat sejumlah anak Balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistim kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik, IPV);
- Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi, dan belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut;
- Bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum penggunaan IPV tersebut, sebagai pedoman bagi pemerintah, umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
Mengingat
- Hadis-hadis Nabi, antara lain
“Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun.” (Abu Daud dari Usamah bin Syarik).
“Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram.” (Abu Daud dari Abu Darda).
“Sekelompok orang dari suku Ukl atau Urainah datang dan tidak cocok dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit) maka Nabi SAW memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan (agar mereka) meminum air kencing dan unta tersebut.” (Al-Bukhari dari Anas bin Malik).
“Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya.” (Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Sabda Nabi SAW yang melarang penggunaan benda yang terkena najis sebagaimana diungkapkan dalam hadis tentang tikus yang jatuh dan mati (najis) dalam keju:
“Jika keju itu keras (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan makanlah (sisa) keju tersebut, namun jika keju itu cair, tumpakanlah.” (Al-Bukhari, Ahmad, dan Nasa’i dari Maimunah isteri Nabi SAW).
- Kaidah-kaidah fikih
“Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin.”
“Dharar (bahaya) harus dihilangkan.”
“Kondisi hajat menempati kondisi darurat.”
“Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”
“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)-nya.”
- Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI periode 2000-2005.
- Pedoman Penetapan Fatwa MUI.
Memperhatikan
- Pendapat para ulama yang menyatakan antara lain
- Keharaman menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat:
“Imam Zuhri berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis; Allah berfirman: ‘…Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)…’ (QS. al-Maidah: 5)” dan Ibnu Mas’ud berkata tentang sakar (minuman keras), Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (Al-Bukhari).
- Kebolehan menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya: “Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya.” (Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, juz I, h. 79).
“Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, karena maslahat kesehatan dan keselamatan lebih sempurna (lebih diutamakan) daripada maslahat menjauhi benda najis.” (Al-Izz bin Abd Al-Salam, Qawaid Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam, Qahirah: Mathba’ah Al-Istiqamah, juz I, h. 8).
- Kewajiban atas setiap ibu yang baru melahirkan untuk memberikan air susu yang pertama keluar (colostrums, al-liba’) kepada anaknya:
“Wajib atas ibu untuk memberikan colostrums (al-liba’) kepada anaknya, yaitu air susu yang keluar pertama setelah melahirkan, karena pada umunya anak tidak bisa hidup tanpa colostrums tersebut, yang dimaksud-sebagaimana dikatakan oleh al-Rafi’i- bahwa pada umumnya anak tidak bisa hidup tanpa colostrums atau fisik anak tidak bisa kuat dan bekal kecuali dengan colostrums.” (Abu Zakaria bin Syaraf Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, berikut syarahnya oleh Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar Al-Fikr, juz III, h. 449).
- Fatwa MUNAS VI MUI nomor: 2/MUNAS VI/MUI/2000 tentang penggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
- Surat Menteri Kesehatan RI nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP.POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423/8 Oktober 2002 antara lain:
- Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit Polio dari masyarakat secara serentak di seluruh wilayah tanah air melalui program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
- Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.
- Terdapat sejumlah anak Balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistim kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik, IPV).
- Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi, mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.
- Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
- Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut; dan jika diproduksi sendiri, diperlukan investasi (biaya, modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.
- Pendapat peserta rapat Komisi Fatwa dalam rapat tersebut, antara lain:
- Sejumlah argumen keagamaan/adillah diniyyah (Al-Quran, Hadis dan Qawa’id Fiqhiyyah) dan pendapat para ulama mengajarkan; antara lain:
- Setiap penyakit dan kecacatan yang diakibatkan penyakit adalah dharar (bahaya) yang harus dihindarkan (dicegah) dan dihilangkan (melalui pengobatan) dengan cara yang tidak melanggar syariah dan dengan obat yang suci dan halal;
- Setiap ibu yang baru melahirkan, pada dasarnya, wajib memberikan air susu yang pertama keluar (colostrum, al-liba) kepada anaknya dan dianjurkan pula memberikan ASI sampai dengan usia dua tahun. Hal tersebut menurut para ahli kesehatan dapat memberikan kekebalan atau kekuatan pada anak;
- Dalam proses pembuatan vaksin tersebut telah terjadi persenyawaan/persentuhan (ikhtilat) antara porcine yang najis dengan media yang digunakan untuk pembiakan virus bahan vaksin dan tidak dilakukan penyucian dengan cara yang dibenarkan syariah (tathhir syar’an). Hal itu menyebabkan media dan virus tersebut menjadi terkena najis (mutanajjis).
- Kondisi anak-anak yang menderita immunocompromise, jika tidak diberi vaksin IPV, dipandang telah berada pada posisi hajat dan dapat pula menimbulkan dharar bagi pihak lain.
Menetapkan Fatwa Tentang Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)
Ketentuan Hukum
Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari atau mengandung benda najis atau pun benda terkena najis adalah haram. Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Rekomendasi (Taushiyah)
Pemerintah hendaknya mengampanyekan agar setiap ibu memberikan ASI, terutama colostrum secara memadai (sampai dengan dua tahun). Pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan yang suci dan halal.