Fatwa MUI tentang Syariah Charge Card

Fatwa MUI tentang Syariah Charge Card

Fatwa MUI tentang Syariah Charge Card
Ilustrasi charge card.

Suaramuslim.net – Untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card. Agar fasilitas tersebut dilaksanakan sesuai dengan syariah, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman, sebagai berikut:

Mengingat

1. Firman Allah SWT

Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Al-Maidah: 1).

“Penyeru-penyeru itu berseru: Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72). 

“Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2). 

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67). 

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Isra: 26-27). 

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34). 

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26). 

Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275). 

“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis.” (Al-Baqarah: 282). 

“Dan jika ia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan berilah tangguh sampai ia berkelapangan.” (Al-Baqarah: 280).

2. Hadis Nabi

Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani).

Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.” (Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).

Telah dihadapkan kepada Rasulullah jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau menyalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menyalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.’ Maka Rasulullah pun menyalatkan jenazah tersebut.” (Al-Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’).

Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang).” (Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Hibban).

Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” (Abu Daud dari Sa’ad Ibn Abi Waqqash).

Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” (Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah).

“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.” (Muslim).

Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.” (Jama’ah).

Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” (Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad).

Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” (Al-Bukhari).

3. Kaidah Fikih 

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Kesulitan dapat menarik kemudahan.” 

“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” 

“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syari’at).”

Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.” 

Memperhatikan

  1. Pendapat fuqaha’ antara lain dalam
  • Kitab I’anah al-Thalibin, jilid III/77-78

“(Tidak sah akad penjaminan/dhaman terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban, seperti utang dari akad qardh) yang akan dilakukan. Misalnya ia berkata: ‘Berilah orang ini utang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.’ Penjaminan tersebut tidak sah, karena utang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini; penjaminan terhadap suatu kewajiban (utang) yang belum terjadi; dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin.

Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: ‘Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini utang sebanyak seratus, dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan utang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut pendapat yang paling kuat (awjah).’

Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman.”

  • Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:

“(Hal yang dijamin) yaitu utang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban. (Qaul qadim -Imam al-Syafi’i- menyatakan sah penjaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat (kebutuhan orang) terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.”

  • Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:

“Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan, karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat.”

  • Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222

Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajiban memberikan jaminan dalam bentuk harta.”

  • Pendapat Majma’ al-Fiqh al-Islami & Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2001: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan.
  1. Substansi Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; Substansi Fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah; Substansi Fatwa DSN No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh.
  1. Surat-surat masuk Bank BII Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Danamon Syariah dan lain-lain, perihal permohonan fatwa tentang kartu berdasarkan prinsip syariah.
  1. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI pada hari Kamis, 7 Rabiul Akhir 1425 H/27 Mei 2004.

 

Menetapkan Fatwa tentang Syariah Charge Card

Pertama: Hukum

Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

Kedua: Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

  1. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
  2. Membership Fee (rusum al-’udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu.
  3. Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
  4. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
  5. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.
  6. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

 

Ketiga: Ketentuan Akad

Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:

  1. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al-bithaqah/penerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal Ijarah.
  2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.

 

Keempat

Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card

  1. Tidak boleh menimbulkan riba.
  2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
  3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
  4. Tidak mengakibatkan utang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dain).
  5. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.

Ketentuan fee:

1. Iuran keanggotaan (membership fee)

Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin penggunaan fasilitas kartu.

2. Ujrah (merchant fee)

Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dain).

3. Fee penarikan uang tunai

Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. 

Kelima: Ketentuan denda

1. Denda keterlambatan (late charge)

Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.

2. Denda karena melampaui pagu (overlimit charge)

Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial. 

Keenam: Ketentuan penutup

  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment