Suaramuslim.net – Secara umum, ikhtilaf bisa dibedakan menjadi dua macam. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati), yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir.
Hal ini meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar umat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.
Macam ikhtilaf yang kedua adalah ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip)
Masalah ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq dhaallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan pengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip)
Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Meski demikian, setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq karena beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala’ dan bara’ (?).
3. Tidak menjaga moralitas, akhlak, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para penganut atau pengikut madzhab lain dan pemilik pendapat lain.
Hakekat Ikhtilaf dalam Masalah-Masalah Furu’
Yang dimaksud dengan ikhtilaf (perbedaan pendapat) adalah perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan. Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara kelompok-kelompok dan golongan-golongan umat di masyarakat saat ini misalnya. Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi.
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) sejatinya adalah fenomena yang normal, wajar dan alami. Ini disebabkan oleh minimal dua hal. Pertama, tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al Quran, maupun khususnya teks Al Hadits) yang memang dari sononya telah berpotensi untuk diperdebatkan dan diperselisihkan. Kedua, tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan matematikanya adalah teks dalil yang multi interpretasi + akal yang berbeda-beda = perbedaan dan perselisihan!
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) juga merupakan fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak!
Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf pada dasarnya dapat disimpulkan dan dikelompokkan menjadi empat sebab utama sebagai berikut.
1. Perbedaan pendapat tentang valid tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al Quran, karena seluruh ayat Al Quran disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, tentang beberapa masalah dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.