Fiqih Puasa: Syarat-Syarat Puasa

Fiqih Puasa: Syarat-Syarat Puasa

Fiqih Puasa Syarat-Syarat Puasa
Ilustrasi makan bersama keluarga. (Ils: Dribbble/@ Vitaliy Sokovikov)

Suaramuslim.net – Syarat-syarat puasa;

Syarat wajib puasa:

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Mampu
  5. Mukim
  6. Tidak haidh dan tidak nifas

Syarat sah puasa:

  1. Niat
  2. Dilaksanakan pada waktunya

Hal-hal yang membatalkan puasa:

1. Makan dan minum dengan sengaja. Jika makan dan minum tersebut tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa.

Rasulullah saw bersabda: Artinya: “Barang siapa yang terlupa sedang ia berpuasa,kemudian ia makan atau minum, maka hendaknya ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum Allah.“ (HR Jama’ah)

2. Muntah dengan sengaja.

Rasulullah saw bersabda: Artinya: “Barang siapa yang muntah dengan tidak sengaja maka tidak diwajibkan baginya qadha, dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengqadha.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim)

3. Istimna’ (onani/masturbasi), yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja
4. Haidh dan nifas
5. Berhubungan suami istri

Qodho’, Fidyah, dan Kafarah bagi yang Tidak Berpuasa

Meng-qodho’ puasa artinya mengganti hutang puasa pada hari-hari yang lain diluar Ramadhan. Qodho’ puasa bisa dimulai semenjak awal bulan Syawal hingga akhir bulan Sya’ban, selain pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa seperti hari ‘Id dan hari-hari Tasyriq. Dan pelaksanaan qodho’ diutamakan untuk disegerakan.

Adapun fidyah adalah pengganti puasa untuk orang-orang yang sudah tidak lagi mampu berpuasa, dan besarnya minimal 1/4 sha, atau 1 mud, atau sekitar 7 ons beras, untuk 1 hari tidak berpuasa. Lebih baik jika lebih dari itu. Dapat juga dalam bentuk makanan matang atau yang senilai harganya.

Adapun kafaroh adalah denda yang dikenakan bagi yang berhubungan suami istri (berjimak) pada siang Ramadhan, dalam bentuk secara berurutan sebagai berikut:

1. Memerdekakan budak. Apabila tidak mampu/tidak ada, maka:
2. Berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut. Apabila tidak mampu, maka:
3. Memberikan makan kepada 60 (enam puluh) orang miskin, masing-masing sejumlah sama dengan fidyah.

Berikut ini orang-orang yang tidak berpuasa berikut konsekuensinya:

1. Yang tidak wajib berpuasa dan tidak sah puasanya:

  • Orang kafir
  • Orang gila

2. Yang wajib berbuka dan wajib qodho’:

  • Wanita nifas dan haidh

3. Yang boleh berbuka dan wajib qodho’:

  • Orang sakit
  • Musafir
  • Wanita hamil/menyusui, apabila berat untuk berpuasa (menurut ulama Hanafiyah)
    atau khawatir atas dirinya (menurut mayoritas ulama)
  • Pekerja berat yang tidak mampu untuk berpuasa, dan ada alternatif pekerjaan lain
    selepas Ramadhan

4. Yang boleh berbuka dan wajib fidyah:

  • Yang lanjut usia dan berat untuk berpuasa
  • Yang sakit dan tidak ada harapan sembuh
  • Wanita hamil/menyusui, apabila berat untuk berpuasa (menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar)
  • Pekerja berat yang tidak mampu untuk berpuasa, dan tidak ada alternatif pekerjaan lain selepas Ramadhan

5. Yang batal puasa dan wajib qodho’:

  • Yang makan dan minum dengan sengaja

6. Yang tidak berpuasa dan wajib qodho’ dan fidyah:

  • Wanita hamil/menyusui yang khawatir atas dirinya dan janinnya (menurut mayoritas ulama selain ulama Hanafiyah)
  • Yang mengakhirkan qodho’ puasa hingga datangnya Ramadhan berikutnya

7. Yang batal puasa dan wajib qodho’ dan kafaroh:

  • Berhubungan suami istri di siang hari Romadhon

Catatan mengenai wanita hamil/menyusui yang tidak berpuasa:

Karena ada 3 (tiga) fatwa dari para ulama mengenai konsekuensi bagi wanita hamil/menyusui yang tidak berpuasa disebabkan berat untuk berpuasa (sebagaimana disebutkan diatas), maka kita bisa menyikapinya sebagai berikut:

  • Apabila ia wanita yang sering hamil, seyogianya ia membayar fidyah, sebagaimana fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
  • Apabila ia wanita yang tidak terlalu sering hamil dan mampu untuk meng-qodho’, maka seyogianya ia meng-qodho’ hutang puasanya, sebagaimana fatwa para ulama Hanafiyah.
  • Apabila dengan meng-qodho’, iapun mempunyai keleluasaan harta, seyogya sambil meng-qodho’ disertai dengan membayar fidyah, sebagaimana fatwa para ulama Syafiiyah dan Hanabilah

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment