Muhasabah Pancasila

Muhasabah Pancasila

Gaji Tidak Pancasilais di Hari Lahir Pancasila

Suaramuslim.net – “Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp112 juta”, siapa sangka judul halaman pertama harian Radar Bogor yang terbit pada Rabu (30/5) ini berbuah kekerasan. Dengan membawa sepeda motor dan pengeras suara, massa PDIP datang sambil marah-marah, membentak dan memaki karyawan, bahkan mengejar staf yang sedang bertugas. Massa juga merusak sejumlah properti kantor.

Demikian rilis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta yang meminta kepolisian mengusut tuntas aksi kekerasan dan memprosesnya secara hukum juga mengimbau Radar Bogor memberikan ruang hak jawab kepada PDIP.

Kader dan simpatisan PDIP keberatan dengan penggunaan kata gaji dalam berita tersebut. Mereka menilai Rp112 juta bukan gaji, tapi penghasilan. Selain itu, kader PDIP meminta redaksi Radar Bogor memberitakan Megawati belum dan tidak mau mengambil penghasilan itu. Hal ini untuk menegaskan bahwa fasilitas yang diberikan negara tak lantas membuat Megawati tampak serakah.

Rakyat Menggugat Perpres ke MA

Persoalan ini bermula dari Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di antaranya mengatur gaji dewan pengarah, pejabat hingga pegawai BPIP pada Rabu (23/5).

Dalam lampiran Perpres tersebut tercantum gaji untuk Ketua Dewan Pengarah yakni Megawati Soekarnoputri sebesar Rp 112.548.000,-. Sementara gaji untuk anggota dewan pengarah sebesar Rp 100.811.000,-.

Gaji ratusan juta untuk dewan pengarah BPIP ini menuai polemik. Sejumlah menteri dan petinggi memberikan penjelasan kepada masyarakat, dari Menteri Keuangan, Menpan-RB, dan anggota dewan pengarah BPIP Mahfud MD yang menyebut gaji itu tergolong sedikit dibanding pejabat komisaris BUMN. Menurut Mahfud, gaji itu terlihat besar karena kumulatif dan hak-hak keuangan lain juga dimasukkan.

Selain Mahfud, Ketua BPIP Yudi Latif ikut “curhat” dengan mengatakan bahwa selama ini dukungan anggaran terhadap lembaga ini sangat minim, bahkan untuk 2018 anggaran belum turun. Mengenai gaji yang sebesar itu, silakan publik menilai, ujar Yudi.

Bagaimana dengan presiden yang sudah menandatangi perpres ini? Seperti biasa, ia meminta publik menanyakan langsung kepada menteri terkait. Menurut Jokowi, ia menandatangani perpres karena sudah berdasarkan analisa dan hitung-hitungan dari kementerian yang ada.

Meskipun ada penjelasan dari pemerintah, nalar sebagian publik yang tidak puas berinisiatif melakukan langkah lanjutan.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) berencana mengajukan uji materi peraturan presiden tersebut ke Mahkamah Agung. MAKI menyebut Perpres itu berpotensi melanggar tiga undang-undang sekaligus.

Kisah Umar dan Jokowi

Beberapa waktu lalu Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman Rokhmin Dahuri mengumpamakan gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Umar bin Khatab. Alasannya karena Jokowi dekat dengan rakyat.

Pernyataan ini juga menuai polemik karena banyak yang bingung dengan perumpamaan tersebut. Apa yang ingin disandingkan antara Umar dan Jokowi?

Di tengah kontroversi Jokowi memberi gaji tinggi kepada petinggi BPIP sebagai pembina ideologi Pancasila dan peringatan hari lahir Pancasila ini, mari kita lihat bagaimana teladan dari Umar berkenaan dengan gaji dan fasilitas negara.

Ibnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqat-nya menceritakan: “Umar pernah berkata, “Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi digunakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari kaum muslimin.”

Dalam lembaran lain kitab Ath Thabaqat, Ibnu Sa’ad menyebutkan, ”Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar mensyaratkan mereka agar tidak menaiki kereta kuda, tidak memakan makanan yang enak-enak, tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini maka akan mendapatkan hukuman.”

Pada waktu tahun paceklik dan kelaparan Umar tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Ia berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”

Menanti Empati Para Petinggi Negeri

Cita-cita Pancasila adalah mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tidak mungkin akan tercapai jika di satu sisi nilai tukar Rupiah anjlok, beras dan daging impor, bbm naik dan jurang ketimpangan kekayaan semakin lebar, sementara di sisi lain malah para pengarah pembina ideologi Pancasila itu sendiri bermandikan fasilitas melangit dari pemerintah.

Kemewahan yang hanya bisa menjadi angan-angan sebagian rakyat Indonesia, saat mereka berjuang melawan lapar, harus keracunan makan keong sawah.

Wajar, jika ada yang menyebut praktik kebijakan seperti itu tidak Pancasilais melihat kondisi kesenjangan rakyat yang luar biasa. Birokrasi dengan berkedok reformasi telah menaikkan gaji sangat tinggi. Namun, kualitas pelayanan publik tetap buruk dan masih dijangkiti boros, tidak efisien, tunaproduktif, bahkan tunakerja.

Jangan biarkan Pancasila berduka melihat warganya yang dirundung nestapa!

*Ditulis di Surabaya 1 Juni 2018

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment