Gempa Megathrust, Akankah Terjadi di Jawa Timur?

Gempa Megathrust, Akankah Terjadi di Jawa Timur?

Gempa Megathrust, Akankah Terjadi di Jawa Timur
Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr. Amien Widodo, Kepala Staf BMKG Kelas II Tretes Pasuruan, Sujabar, ST (tengah) dan Masyarakat Tangguh Bencana Indonesia Arna Ferajuani dalam talkshow Ranah Publik (29/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM.

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Indonesia, negara dengan sumber daya alam yang melimpah tidak selamanya aman. Terletak di antara dua lempeng aktif Eurasia dan lempeng Indo-Australia dan variasi topografi yang membentang, menjadikan negara ini rentan terhadap bencana.

Banjir, tanah longsor, gempa bumi, hingga tsunami berpotensi terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menyebutkan bahwa negara ini adalah laboratorium bencana terbaik di dunia karena variasi bencana yang terjadi. Namun, apakah masyarakat sudah siap dalam menghadapi bencana?

Memahami Potensi Gempa Megathrust

Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr. Amien Widodo dalam talkshow Ranah Publik (29/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM mengatakan, beredarnya kabar bahwa pantai selatan Jawa berpotensi diguncang gempa 8.8 SR dan tsunami dahsyat 20 meter cukup meresahkan warga.

Meskipun benar ada potensi gempa Megathrust yang disampaikan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi, namun hal itu tidak dapat terprediksi kapan terjadinya.

“Mengenai potensi, hal itu sudah ada kajian sejak dahulu bahwa terdapat gempa Megathrust di selatan Pulau Jawa dengan magnitudo di atas 8,5 dan dapat memicu tsunami, wilayah yang berpotensi mengalami gempa di selatan Jawa, yakni Selat Sunda, Jawa Tengah, Jawa Barat termasuk Jawa timur,” paparnya.

Dulu sebelum ada UU nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, cerita Amien, sebagai akademisi hanya bisa merespons setiap ada bencana sesaat setelahnya, tetapi sekarang sudah UU yang memungkinkan melakukan suatu kajian sebelum dan sesudah ada bencana.

“Ini memberikan suatu gambaran bahwa ada manajemen ke arah kesiapsiagaan, manajemen saat kedaruratan dan manajemen segala recovery,” imbuhnya.

“Kajian itu sudah lama adanya sejarah gempa di daerah Selatan lebih dari 8 SR. Contohnya jika meja ini didorong terus maka pada saatnya akan terjadi pecah, tapi jika yang didorong adalah beton maka membutuhkan waktu bertahun-tahun, dia akan berulang pecah di tempat yang sama dan kekuatan yang sama. Rumus itu yang kami pahami selama ini untuk merencanakan satu wilayah. Memang butuh sosialisasi apa adanya tapi meskipun begitu ternyata bisa meresahkan warga,” jelasnya.

Amien menegaskan, gempa itu tidak membunuh, tetapi bangunannya. Seperti yang terjadi di Yogya, banyak rumah warga yang runtuh. Namun juga tidak sedikit rumah warga yang masih kokoh saat gempa terjadi. Maka yang bisa membunuh itu, tsunami, bangunan, likuifaksi, dan kebakaran.

“Ini yang bisa dipelajari kenapa Jepang dan Amerika meskipun gempa skala 7 SR tidak menyebabkan korban banyak, sebaliknya kita sudah melalui gempa bermaca-macam namun masih tetap sama. Mestinya kita juga bisa tangguh seperti mereka,” tutupnya.

Terbatasnya Alat Pendeteksi Gempa

Kepala Staf BMKG Kelas II Tretes Pasuruan, Sujabar, ST dalam talkshow Ranah Publik (29/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM juga menanggapi terkait dengan kekuatan gempa Megathrust 8.8 SR di Jawa Timur.

Menurutnya bisa jadi tergantung beberapa faktor, bukan hanya ditentukan oleh dorongan namun jenis batuan. Apakah kuat atau lemah sehingga terjadi deformasi.

“Sebenarnya ada keuntungan kalau suatu wilayah itu sering terjadi gempa atau pelepasan skala kecil, justru dengan sering terjadi itu malah harapannya tidak terjadi gempa yang sekali datang langsung besar. Gempa itu mempunyai siklus atau periode ulang karena adanya faktor desakan energi dan kekuatan batuan, dari kekuatan batuan itulah nanti berapa tahun akan terjadi kembali namun itu tidak bisa menjadi dasar meskipun menggunakan statistik,” paparnya.

Terdapat laporan gempa yang terjadi hampir setiap hari di Indonesia. Kekuatannya pun bervatiatif, namun bukan menjadi tolak ukur jika gempa besar akan menyebabkan guncangan yang hebat. Sebaliknya, gempa dengan skala kecil pun sekitar 2-3 SR dapat mengguncang meski hanya 3 desa.

“Gempa di Semarang dan Lampung hanya 2 SR, tapi kebetulan sumber gempa itu dekat dengan pemukiman maka akan terasa juga. Jadi meskipun di atas 2 SR pas di atas rumah warga ya bisa jadi akan menyebabkan kerusakan,” jelasnya.

Menurut Sujabar, Indonesia sangat rawan bencana. Meski begitu banyak pembangunan yang tidak memerhatikan keselamatan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menargetkan Indonesia memiliki 194 seismograf untuk meningkatkan kewaspadaan akan bencana alam seperti gempa dan tsunami hingga akhir 2019.

“Tahun ini Jatim mendapatkan 13 alat seismometer, dan 1 buah ada di Sidoarjo. Pemasangan alat itu pun terdapat jejaring sampai seluruh Jawa, seperti misalnya di Jatim sendiri terdapat 7 alat dari Gresik hingga ke Jateng dengan model zigzag. Namun demikian, Indonesia masih membutuhkan banyak alat seismograf agar letak penempatannya tidak terlalu jauh,” pungkasnya.

Menuju Masyarakat Tangguh Bencana

Masyarakat Tangguh Bencana Indonesia Arna Ferajuani dalam talkshow Ranah Publik (29/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM menjelaskan, masyarakat tangguh bencana meski baru berusia 2 tahun tetapi lembaga ini mempunyai mimpi besar, yaitu membangun masyarakat dari bawah agar peduli pentingnya mitigasi.

“Dari mana mulainya? Ya dari lingkungan sendiri. Bagaimana seseorang bisa menyelamatkan diri, ketika tidak tahu bahaya apa-apa,” ucapnya.

“Selama 20 tahun saya bergelut dengan bencana, yang namanya mitigasi itu mesti barang yang mahal. Kegiatan yang kami lakukan bersifat sosial menyentuh masyarakat di ruang publik seperti bermain sambil belajar,” ceritanya.

Oleh karena itu, menurut Arna, hal krusial yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir masyarakat menjadi masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana. Usaha ini bisa dimulai dengan mengidentifikasi potensi bencana di sekitar kita. Setelah itu, perlu mengetahui langkah awal yang harus dilakukan sebelum bencana terjadi, ketika, dan setelah bencana terjadi. Hal ini berpeluang besar membantu penyelamatan dan perlindungan diri.

“Kami juga mendampingi siswa-siswi sekolah di Surabaya, setelah kita dampingi hampir sebulan ternyata mereka bisa kok. Tapi kami juga sangat prihatin, bagaimana membantu menyiapkan evakuasi siswa berkebutuhan khusus? Ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Mereka justru belum tahu gempa itu seperti apa,” jelasnya.

Untuk itu, Arna mengajak masyarakat tidak boleh hanya berpangku tangan menunggu inisiasi pemerintah dalam hal edukasi kesiapsiagaan bencana. Usaha mengurangi dampak bencana bisa mulai dilakukan dengan mengedukasi diri sendiri dan orang terdekat. Setelah hal itu dilakukan, edukasi masyarakat sekitar juga perlu dilakukan.

“Kita harus mulai terbiasa hidup berdampingan dengan bencana, dengan menjadi masyarakat yang tangguh dan siap siaga akan bencana. Masyarakat tangguh bencana merupakan pondasi dari upaya mitigasi bencana, karena bencana tidak dapat kita hindari, namun dampaknya dapat diminimalisasi,” tegasnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment