Suaramuslim.net – Di Indonesia ini, atau bahkan di dunia muslim global, siapa sih yang tidak kenal dengan hadis tentang larangan menyerupai suatu kaum tertentu? Hampir semuanya kenal hadis itu, meskipun tak semuanya mengetahui sumber dan kualitasnya. Popularitas hadis ini biasanya musiman, dan lebih dari satu kali. Hampir setiap bulan, setiap ada even-even kebudayaan tertentu di negeri ini, hadis ini kembali naik daun, ngehits.
Pada bulan Januari, setidaknya ia ngehits di awal tahun. Bulan Februari, ngetop di pertengahan bulan, Valentine day. Tidak hanya itu, pada bulan-bulan hijriyah pun juga demikian. Apakah memang demikian pola popularitas hadis itu pada masa Nabi, selalu ngehits pada momentum kebudayaan tertentu? Lalu, digunakan untuk apa sebenarnya hadis itu? Bagaimana ragam pembacaannya?
Berdasarkan pengamatan sepintas di berbagai media dan jejaring sosial, kita dapat membaca penggunaan hadis tentang menyerupai suatu kaum, berikut ini:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari [golongan] mereka.”
Nyaris tak ada redaksi lain, selain itu. Artinya lafal itulah yang paling populer. Hadis tersebut dapat dijumpai dalam Sunan Abu Dawud, melalui jalur sahabat Ibnu Umar. Kualitasya, masih diperselisihkan, antara hasan atau daif. Namun, sejarah menyaksikan penggunaan dan penerimaannya yang begitu luas di kalangan para ulama.
Ada beberapa masalah di balik popularitas hadis ini. Masalah pertama adalah metode pemahamannya. Sedikitnya ada dua fenomena terkait hal ini. Pertama, tekstualisme yang tidak konsisten dan tidak holistik. Kedua, penggunaan kaidah pemahaman berbasis sabab wurud. Masih ada beberapa lagi sebenarnya.
Terkait inkosistensi dan ketidak-komprehensifannya, redaksi hadis tersebut sangat umum, sangat general sekali. Meskipun kita bisa menerka-nerka melalui kajian sababul wurud, siapa yang dimaksudkan dengan suatu kaum di situ, yaitu orang-orang kafir. Namun yang jelas, diksi (pilihan kata) dalam hadis itu tidak menunjuk suatu kaum tertentu, kafir atau beriman. Hanya kaum. Titik. Sangat umum. Umat Islam juga kaum. Umat Kristen juga kaum. Sekelompok umat Islam juga kaum.
Siapa yang dimaksud dengan kaum di situ? Lalu, kenapa dipahami khusus menyerupai kaum non muslim saja? Bagaimana jika ada orang non muslim menyerupai kaum muslimin? Apakah mereka menjadi bagian dari umat Islam? Perlu pemahaman yang cermat dan komprehensif. Jangan sampai, hanya dengan tekstualisme sepotong, kita justru kena batunya. Menjadi tekstualis itu penting, namun harus holistik.
Lalu, bagaimana agar holistik? Kita juga harus mengacu kepada hadis lain yang sahih. Bahwa, betapa banyak Nabi mengadopsi tradisi non-muslim? Betapa Ibnu Abbas mengesankan Nabi itu suka meniru kebiasaan Ahli Kitab dalam hal-hal yang tidak ada aturan bakunya! Nabi suka bergaya rambut belah tengah, atau sisir ke belakang seperti kebiasaannya Ahli Kitab dan orang musyrik. Nabi merayakan Asyura dengan cara puasa, sama persis dengan kebiasaan Ahli Kitab dan Musyrik Jahiliyah. Nabi menggunakan strategi parit untuk peperangan, dan sebagainya.
Kemudian, terkait dengan kaidah al-‘ibrah bi ‘umumil lafzhi, la bi khususis sabab (makna ditentukan oleh keumuman redaksi, bukan sebab kemunculannya yang spesifik). Justru ini yang berbahaya kalau diterapkan begitu saja untuk hadis ini. Kaum adalah umum, tidak menunjuk sama sekali kepada non-muslim. Man (siapa) juga sangat umum, tidak ada pengkhususan di situ. Bagaimana jika non muslim menyerupai, mengikuti gaya dan tradisi muslim? Beranikah bilang mereka telah masuk Islam, sebagaimana orang muslim yang menyerupai non-muslim akan dianggap kafir?
Justru, kaidah al-ibrah bi khususis sabab, la bi ‘umumil lafzhi (makna lafal ditentukan oleh [pertimbangan] sebabnya yang spesifik, tidak semata-mata redaksinya yang general) lebih tepat dan aman untuk diterapkan kepada hadis ini. Dengan demikian, seandainya tidak komprehensif dalam memahami hadis secara tekstual pun, tidak akan menimbulkan pemahaman yang kontraproduktif yang justru menyulitkan dan membahayakan diri sendiri.
Masalah kedua adalah masalah penggunaannya, tidak proporsional. Pada dasarnya, hadis itu muncul dalam konteks peperangan pada masa Nabi. Di mana, ketika ada seorang muslim mengenakan identitas non muslim, lalu terbunuh atau tercederai oleh sesama muslim yang sedang bertugas misalnya, maka pelakunya tidak dapat dituntut sama sekali, karena sang korban berperilaku dan bertindak mengaburkan atau mengacaukan fokus umat Islam yang sedang bertugas itu.
Belum lagi, jika seorang tentara muslim dalam situasi perang, bertugas sebagai intel, spionase untuk kubu lawan. Haruskah ia terkena kaidah hadis di atas? Di sini, hadis tersebut tidak disebut sebagai perintah, meskipun dapat bermakna perintah dan larangan sekaligus. Namun, hadis tersebut lebih tepat disebut sebagai kaidah umum saja. Tentu, dengan nalar logika politik dan strategi pertahanan, intel dan spionase tersebut adalah pengecualian dari kaidah hadis tersebut. Kita pun bisa memaklumi itu.
Fenomena berikutnya, hadis di atas kini di berbagai jejaring dan media sosial digunakan untuk menggugat orang lain. Padahal, hadis itu pada awalnya digunakan untuk sebaliknya. Membebaskan orang lain dari gugatan. Perbedaan itu tampaknya juga berbanding lurus terhadap perbedaan antara konteks kemunculannya dengan konteks pengguanaannya saat ini. Dulu, digunakan saat kondisi tidak damai, saat ini dipakai untuk kondisi damai sekalipun. Akhirnya, timbul masalah baru.
Di Indonesia, pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, para kiai menggunakan hadis ini untuk konsolidasi umat Islam Indonesia dalam berjuang. Meskipun pola penggunaannya berbeda, konteks kondisinya tetap sama, yaitu peperangan, tidak sedang damai dengan penjajah.
Bedanya, secara sabab wurud digunakan untuk pembebasan umat Islam dari tuntutan sesamanya, dan antisipasi agar tidak terjadi salah sasaran. Sedangkan oleh para kiai dulu, hadis tersebut digunakan untuk kampanye politik identitas, pemboikotan produk-produk dan budaya penjajah.
Karena itu, produk pemahaman hadis itu menjadi haram mengenakan topi Belanda, haram memakai dasi, sepatu, celana, dan juga jas. Sementara pada masa Nabi, produk pemahaman hadis itu adalah larangan menuntut jika terjadi salah sasaran. Dalam konteks ini masih proporsional.
Sayangnya saat ini, hadis itu banyak digunakan untuk menggugat dan mengkafirkan orang sesama muslim. Lalu, di mana letak kesamaannya selain hanya berpatokan kepada sikap tekstual yang tidak konsisten dan tidak komprehensif itu? Di situlah letak pemahaman yang tidak proporsional di balik popularitasnya yang harus diakui, patut diacungi jempol. Wallahu A’lam.
sumber: Wikihadis.id