SURABAYA – Sebentar lagi Indonesia memperingati Hari Pahlawan 10 November 2018, sebuah momentum refleksi perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada November 1945. Tempat perjuangannya boleh jadi di Surabaya, namun gaungnya dirasakan di kota lain. Andai -sejarawan boleh berbual- saat itu pejuang tidak mempertahankan kemerdekaan, tentu lain lagi ceritanya, refleksi Hari Pahlawan hanyalah bualan belaka.
Tidaklah heran Surabaya mempunyai nama lain kota pahlawan, karena Surabaya banyak memiliki pahlawan masa lalu, di bidangnya masing-masing. Dari abad 15 hingga Indonesia merdeka, Surabaya tidak pernah mandul untuk melahirkan pemimpin baru dan suasana pergerakan.
Sejarah kebesaran Surabaya pernah beberapa kali tersaji, dengan masa dan tempat yang berbeda, kesemuanya menunjukkan heroisme kebesaran stok kepemimpinan dan suasana pergerakan
Kebesaran dalam Lintas Sejarah
Pertengahan abad ke-15, tepatnya tahun 1443 M daerah Ampel atau Ampel Denta Surabaya datang seorang yang bernama Raden Rahmat atau Sunan Ampel sebagai wali yang menyebarkan ajaran agama Islam, darinya dakwah Islam banyak tersebar di seluruh jawa.
Daerah Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan raja Majapahit, ia bangun pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya hingga pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara.
Banyak wali di daerah lainnya adalah menantu atau santri dari Sunan Ampel. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut lalu disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Selain santri, Sunan Bonang Tuban dan Sunan Drajat Lamongan merupakan menantu dari Sunan Ampel yang menikahi anaknya
Dakwah Sunan Ampel berhasil, selain berhasil, pelebaran dan regenerasi ia hasilkan dari Surabaya untuk dakwah Wali Songo di penjuru Jawa.
Lain Sunan Ampel, lain kisah H.O.S. Cokroaminoto. Lahir di desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883 (ada yang menulis beliau lahir 20 Mei 1883. Tepat pada waktu Gunung Krakatau meletus, sebagian menulis lahir tahun 1882). Darinya Surabaya menjadi kota yang banyak didatangi tokoh-tokoh pergerakan dari luar daerah.
H.O.S. Cokroaminoto masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai pangreh pradja di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi, karena muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Antara tahun 1907-1910 bekerja pada Firma Coy & CO di Surabaya, di samping meneruskan pada Burgelijek Avondschool bagian mesin. Bekerja sebagai masinis pembantu, kemudian ditempatkan di bagian kimia pada pabrik gula di kota tersebut (1911-1912).
Di Surabaya, Cokro dan istrinya, Suharsikin, mendirikan kost-kostan untuk tempat tinggal, dari kost ini kelahiran gagasan besar dan pemimpin negara kelak terbentuk, mereka adalah Soekarno, Kartosuwiryo, Semaun, dkk.
Tjokro mendirikan organisasi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912 dengan basis di Surabaya. Prestasi perdana Tjokroaminoto adalah ketika ia sukses menyelenggarakan rapat besar SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang anggota.
Berlalu ke pasca kemerdekaan, tepatnya bulan September 1945, Surabaya pernah bergejolak. Penyebabnya karena Belanda kembali datang bersama pasukan Sekutu untuk menduduki kawasan yang sudah merdeka ini.
Kondisi semakin memanas, perang tidak bisa dihindarkan lagi, K.H Hasyim Asyari dan ulama lain mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk melawan penjajah, menjawab pertanyaan dari Bung Karno tentang bela negara waktu itu, puncaknya pada 10 November terjadilah perang melawan sekutu.
KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Di antara para komando resimen yang membantu KH Abbas adalah sebagai berikut. KH Abdul Wahab Hasbullah, Sutomo (Bung Tomo), Roeslan Abdulgani, KH Mas Mansur, dan Doel Arnowo.
Bung Tomo berpidato melalui jaringan radio. Pidatonya membakar semangat juang rakyat Indonesia yang sedang mempertahankan kedaulatan Indonesia sampai titik darah penghabisan. Suara Bung Tomo diakhiri dengan pekik takbir: “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Menyoal Surabaya Kini
Masih banyak hal heroik yang terjadi di Surabaya, demikian pula dengan pemimpin-pemimpin yang ada di Surabaya, jumlahnya tidak terhitung lagi. Dulu, sekelumit tiga contoh di atas, membawa Surabaya dikenal oleh kota lain maupun mancanegara.
Kini Surabaya menjelma menjadi kota yang besar, selain Jakarta. Kota metropolitan yang diagungkan sebagai Kota Pahlawan ini selalu menyediakan ruang, gagasan, dan orang untuk membawa Indonesia menjadi hero di mana pun.
Rasanya tidak etis bila mengaitkan Surabaya dulu dan kini dengan dan harus sama dalam hal kepemimpinan heroik kebesarannya. Mengingat, zaman, kondisi, dan keadaan masyarakat tentu berbeda. Sebagaimana menyuruh Surabaya hari ini untuk berperang menggunakan tombak sebagaimana masa lalu.
Refleksi Hari Pahlawan sudah sering dilihat di sejumlah media sosial, banner di pinggir jalan, acara-acara seminar, teatrikal komunitas, serta agenda pemerintah kota sudah tidak terhitung kembali jumlahnya, tentu menjadi kebanggaaan tersendiri sebagai kota besar yang menghargai jasa para pahlawan.
Namun satu hal yang perlu menjadi buah bibir kekinian akankah Surabaya ke depan masih bisa melahirkan pemimpin-pemimpin besar, tempat yang memadai guna pergerakan? Layak dinanti di saat kota yang semakin tumbuh secara ekonomi, berkembangnya tempat-tempat besar, mall dan kesenjangan penduduk yang semakin nyata.
Surabaya tidak akan mandul untuk menciptakan suasana tersebut!