Suaramuslim.net – Bahwa pengembangan budaya yang akan berkesinambungan harus memiliki sifat konvergen (keterbukaan) terhadap budaya lain, demi kontinuitas (kesinambungan) budaya itu sendiri agar menyatu dengan budaya dunia, namun tetap harus konsentris pada budaya tradisionalnya, agar tetap memiliki kepribadiannya di tengah-tengah budaya dunia. (Ki Hajar Dewantara)
Tidak bisa dibantah bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Budaya yang muncul dalam kehidupan manusia ini disebabkan karena faktor logika yang ada dalam diri manusia. Logika mencoba untuk memahami realitas dengan penafsiran-penafsiran yang mereka mampu jangkau, kemudian mengejawantahkan dalam berbagai bentuk. Bentuk ini seringkali disebut dengan simbol. Maka, budaya dan simbol adalah dua hal yang tidak mungkin terpisah dalam kehidupan manusia. Karena itulah manusia pun dikenal dengan makhluk penuh simbol. Man is symbilycum.
Simbol juga menjadi alat komunikasi paling penting dalam sebuah proses komunikasi sosial. Tugas logika dalam menyederhanakan realitas dan simbol bertugas menyampaikannya pada manusia. Sebut saja bahasa yang memiliki ragam simbol dalam bentuk huruf maupun angka. Sejatinya, huruf dan angka bukan merupakan bentuk nyata dari sebuah realitas yang manusia sampaikan, namun keniscayaan logika kemudian membentuk simbol-simbol tersebut dan menjadi alat komunikasi manusia.
Karena simbol merupakan bentuk konkret dari abstraksi logika manusia akan realitas, maka seringkali simbol-simbol itu menunjukkan identitas sebuah bentuk masyarakat. Dalam masyarakat jawa misalnya. Banyak sekali ditemukan simbol-simbol identitas dalam masyarakat ini. Sebut saja, batik yang merupakan salah satu bentuk simbol yang tidak hanya artistik tapi juga mengandung makna yang sangat dalam.
Batik muncul sebagai sebuah bentuk kesenian khas Indonesia. Meski banyak pendapat yang berbeda mengenai asal keterampilan batik, namun kebanyakan sejarawan sepakat bahwa batik muncul pada abad ke 10 masehi. Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang menggambarkan filosofi kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah refleksi nilai-nilai sosial, batik tidak hanya berfungsi sebagai jenis pakaian masyarakat.
Sebagaimana alat-alat komunikasi budaya lainnya, batik pun memiliki fungsi untuk menyampaikan nilai-nilai moral yang luhur kepada masyarakat. Seperti misalnya motif batik parang yang biasanya hanya boleh dikenakan oleh para bangsawan keraton. Karena memiliki makna kesatria dan wibawa sehingga rakyat biasa tidak boleh menggunakan motif batik tersebut.
Sebagaimana pada bahasa dan alat komunikasi lainnya, simbol pun dipengaruhi oleh ideologi maupun keyakinan yang menjadi ajaran universal yang dianut dalam sebuah bentuk masyarakat. Batik yang awalnya banyak bercorak makhluk hidup seperti hewan dan manusia juga mengalami perubahan bentuk maupun konsep moral yang dikandungnya. Saat Islam masuk menjadi agama yang membumi di masyarakat Nusantara, perlahan tapi pasti motif-motif itu pun berubah. Pada saat itu motif manusia maupun binatang semakin berkurang. Khususnya yang disebutkan pertama, hampir tidak lagi dijumpai. Hal ini selain karena ajaran agama Islam tidak memperkenankan gambaran manusia, seperti pada motif Batik Aceh, perubahan itu juga disebabkan karena adanya proses Islamisasi yang telah menjalar ke seantero Nusantara.
Proses Islamisasi ini membawa pada perubahan pola pikir yang menuju perubahan cara pandang masyarakat. Perubahan cara pandang inilah yang merubah konsep realitas yang kemudian menjelma pada motif-motif batik. Setelah Islam masuk hampir sangat jarang motif-motif manusia dijumpai. Namun motif-motif tumbuhan lebih mendominasi di banyak batik di Indonesia.
Khususnya di Jawa, motif-motif bernuansa religi banyak ditemukan. Seperti motif batik khas Solo dan Yogyakarta, yaitu motif Wahyu Temurun yang memiliki makna religi yang mendalam. Motif yang bermakna kemuliaan dan keberkahan dari sebuh kebesaran yang didapat dari Tuhan Yang Maha Esa, merupakan gambaran nyata dari integrasi budaya dan agama yang berhasil. Bahkan para pengrajin motif batik ini dahulu rela untuk puasa 40 hari 40 malam sebelum membuat batik motif ini. Unsur sakral dan historisitas inilah yang menjadikan batik ini berharga.
Selain itu ada juga motif Batik Burung Huk. Motif ini bahkan sangat kental nuansa Islamnya. Motif yang bergambar seekor anak burung yang baru menetas dengan menggeleparkan kedua sayapnya untuk berusaha keluar dari cangkang telur sedangkan sebagian tubuhnya masih di dalam. Hal ini meggambarkan makna bahwa kematian hanyalah kerusakan raga menuju keabadian jiwa menuju Tuhan Yang Maha Esa. Kaki yang masih dalam telur bermakna bahwa kondisi manusia yang sejatinya membutuhkan pijakan bumi untuk bisa terbang menuju rida Rabb nya. Maka dunia hanyalah tempat untuk menempa diri agar bisa terbang menuju nirwana dan bertemu Penciptanya.
Demikianlah keharmonisan proses akulturasi budaya dan agama di Indonesia yang tergambar pada motif batik. Dari proses ini bisa dipelajari bahwa agama menjiwai budaya, sehingga budaya tidak berbenturan dengan ajaran agama. Budaya muncul dari agama dan bukan sebaliknya. Sehingga demikian, proses “li ta’arofu” berjalan dinamis dan mencerminkan rahmatan lil ‘alamin dengan makna yang sebenarnya. Wallahu a’lam bi ash showab