Suaramuslim.net – Presiden menginstruksikan kepada 34 gubernur untuk membawa air dan tanah ke Ibu Kota Negara (IKN). Air dan tanah yang dihimpun dari ujung Aceh hingga Papua guna mengumpulkan kearifan lokal yang berbeda-beda.
Hal ini dipandang sebagai kebinekaan bangsa Indonesia sekaligus sebagai penanda keinginan bersama terciptanya persatuan yang kuat. Namun pengambilan air dan tanah dari tempat leluhur atau wilayah yang dianggap sakral dan dikeramatkan, menunjukkan sisi mistis dan klenik daripada rasional sebagai negara modern.
Pengambilan air dari tanah dari gunung, laut, pantai, dan sungai terpilih merupakan penekanan pada nilai-nilai mistik dan dekat dengan dunia klenik. Dengan kata lain, pengumpulan air dan tanah merupakan cerminan dari ritual hegemonik untuk meraih berkah yang menyingkirkan spirit Islam yang mengagungkan Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta ini.
Titik Nol: penyatuan air dan tanah
Proses penyatuan air dan tanah dari 34 provinsi se-Indonesia bersama Presiden Joko Widodo menjadi hari bersejarah. Hari bersejarah (Senin, 14/3/2022) yang bertempat di kawasan Titik Nol IKN di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur tercatat sebagai momentum sangat penting. Namun. keajaiban dan bersejarah itu identik dengan nilai-nilai mistis dan klenik, bukan rasional-fungsional.
Salah satu contoh, apa yang dibawa oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang mengambil air dan tanah dari sejumlah gunung yang merupakan pusat bumi atau pusatnya dunia. Sebelum memilih lokasi tersebut, Ganjar mengaku sudah berkonsultasi dengan para sesepuh.
Begitu pula dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang memilih membawa air dan tanah yang diambil dari air dan tanah dari Bumi Majapahit. Harapannya, sesuai dengan apa yang dicita-citakan Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa.
Demikian pula yang dilakukan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Zulkieflimansyah yang membawa tanah dari Tambora dan air dari Narmada. Air itu dipandang bisa membuat awet muda, dan tanah dari Tambora yang punya sejarah besar.
Gubernur Riau Syamsuar membawa air yang diambil dari empat sungai, sementara tanah diambil dari tanah beberapa masjid yang dibangun pada abad 17, 18, dan 19.
Apa yang tergambar di atas menunjukkan bahwa air dan tanah yang dibawa oleh kepala daerah mengandung harapan yang mendasarkan pada unsur mistis daripada aspek fungsional.
Dikatakan mistis karena tidak menunjukkan relevansi dengan apa yang dihadapi oleh masyarakat yang sedang menghadapi himpitan ekonomi, keputusasaan politik, hilangnya harapan untuk hidup lebih baik. Mereka lebih banyak menyandarkan pada terwujudnya kehidupan yang didasarkan pada mistis daripada cara berpikir yang realistis.
Apa yang dilakukan oleh para kepala daerah tidak menggali nilai-nilai luhur yang diambil dari agama mereka yang agung. Spirit agama yang mengagungkan Sang Maha Pencipta dan Pemelihara alam semesta tidak menjadi sandaran utama dalam membangun dan menentukan harapan masa depan bangsa.
Para elite pemegang kebijakan di masing-masing daerah seolah terlena dengan harapan dan cita-cita yang tidak mendasarkan pada realitas yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Air-Tanah dan spirit klenik
Air dan tanah yang dibawa kepala daerah itu menggambarkan dominasi klenik-mistis daripada spirit-ilahiyah. Hal ini disebabkan ada pengharapan keberkahan (tabarruk) terhadap air dan tanah yang disatukan dalam kendi.
Apa yang dilakukan ini tidak lebih dari permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa setelah diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun dan tentaranya. Allah menyelamatkan Nabi dan Musa dan kaumnya (Bani Israil) dari penindasan yang dilakukan oleh Fir’aun sekian lama. Setelah dibebaskan dari musibah besar itu, Bani Israil justru meminta Nabi Musa mendatangkan benda yang bisa digunakan sebagai perantara untuk meminta pertolongan.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْۤ اِسْرَآءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَ تَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰۤى اَصْنَا مٍ لَّهُمْ ۚ قَا لُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّـنَاۤ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗ قَا لَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 138).
Apa yang dilakukan Bani Israil dengan meminta benda untuk dijadikan sebagai perantara sesembahan tidak berbeda dengan air dan tanah yang dikumpulkan dalam satu tempat (kendi). Kendi itu digunakan sebagai simbol untuk mendatangkan kesuksesan, seperti kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Bahkan air dan tanah yang dikumpulkan merujuk pada simbol kesucian air dan keluhuran tanah yang diambil untuk dikumpulkan menjadi satu.
Mengunggul-unggulkan air dan tanah yang bersandar pada keagungan dan keluhuran para pendahulu, tidak lebih sebagai bentuk pengagungan tradisi yang dipegang teguh oleh para nenek moyang. Tradisi seperti ini dipandang mendatangkan keberhasilan, sehingga akan dipertahankan dan sulit bergeser. Ketika sudah menjadi tradisi yang sulit untuk berubah inilah yang disebut Allah sebagaimana firman-Nya:
وَاِ ذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَا لَوْا اِلٰى مَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِ لَى الرَّسُوْلِ قَا لُوْا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَآءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَا نَ اٰبَآ ؤُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ شَيْـئًـا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Al-Maidah: 104).
Mengumpulkan air dan tanah dalam satu tempat, tidak lebih sebagai simbol dominasi dan hegemoni mistis. Hegemoni mistis itu dibungkus dengan cita-cita luhur untuk mempersatukan dan mewujudkan bangsa yang maju-berperadaban.
Padahal secara tidak terasa, mengumpulkan air dan tanah dalam satu wadah tidak lebih sebagai upaya menyingkirkan spirit ilahiyah untuk diganti dengan nilai-nilai mistik-klenik sebagaimana yang pernah diminta Bani Israil kepada Nabi Musa untuk dibuatkan berhala (sesembahan).