Akankah Jokowi mengulang sejarah Orde Baru?

Akankah Jokowi mengulang sejarah Orde Baru?

Ilustrasi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Ilustrator: Ana Fantofani
Ilustrasi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Ilustrator: Ana Fantofani

Suaramuslim.net – Reformasi bergulir akibat kekecewaan rakyat terhadap praktik-praktik kotor yang dilakukan oleh Orde Baru dalam menjalankan kekuasaannya.

Isu yang menyeruak dalam agenda Reformasi adalah keinginan masyarakat berjalannya praktik pemerintahan yang bersih dan jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Mengapa Orde Baru dijatuhkan oleh kekuatan rakyat dalam gerakan Reformasi 1998? Sebelum menjawab persoalan itu ada baiknya kita melihat kembali sejarah praktik Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya.

Soekarno dan akhir Orde Lama

Menyusul setelah terjadinya peristiwa G30S PKI, pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang dikenal dengan Supersemar kepada Letjend Soeharto selaku Menpangad. Surat mandat ditujukan untuk pemulihan kekuasaan negara dan selanjutnya dikembalikan kepada Presiden setelah keadaan kondusif.

Dalam surat itu memerintahkan kepada Menpangad Letjend Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu guna memulihkan keamanan negara.

Setelah menerima Supersemar, tepatnya tanggal 12 Maret 1966, dengan semangat pemulihan kekuasaan, Letjend Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai organisasi terlarang. Sejalan dengan itu maka DPR-GR maupun MPRS bercirikan Nasakom dibersihkan dari unsur-unsur Komunis.

Sebagai upaya untuk mengabadikan ajaran pemimpin besar revolusi Bung Karno, berdasarkan pada memorandum DPR-GR tanggal 9 Juni 1966, pada tanggal 15 Juni 1966, MPRS mengeluarkan TAP-MPRS No. XX/MPRS/1966.

Di dalam TAP MPRS ini memuat pernyataan dasar negara Pancasila dan pernyataan kemerdekaan, maka pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah oleh siapapun termasuk oleh MPR hasil pemilu, mengubah pembukaan UUD 1945 berarti pembubaran negara.

Dua bulan setelah keluarnya TAP MPRS tersebut, tepatnya tanggal 17 Agustus 1966, Bung Karno menyampaikan amanah berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau “Jasmerah.”

Dalam pidato kenegaraan yang beliau sampaikan selaku Presiden RI di antara isinya “… Kita berjalan terus pada sasaran, berjuang terus, menuju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945 beserta anak kandungnya yang bernama Deklarasi Kemerdekaan yang tertulis sebagai Mukadimah UUD 1945…”

Jasmerah ternyata merupakan amanah dan pidato yang terakhir Bung Karno. Sidang MPRS tanggal 7 Maret 1967 telah mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Bung Karno. Sejalan dengan itu maka pada tanggal 12 Maret 1967, Jendral Soeharto dilantik menjadi presiden yang baru.

Sejak saat itu untuk menandai kepemimpinannya saat itu Soeharto menandai pemerintahannya dengan Orde Baru dan sebelumnya dengan Orde Lama.

Orde Baru dan praktik KKN

Orde Baru memang mencatat berhasil membawa bangsa ini ke berbagai kemajuan dengan jargon “Politik No, Pembangunan Yes.”

Namun sayangnya di dalam perjalanannya, kekuasaan yang dibangun korup dan menyuburkan praktik KKN. Akibatnya fundamental ekonomi menjadi keropos. Mengapa bisa terjadi begitu? Karena kekuasaan itu cenderung korup dan ambisius serta manipulatif. Sehingga banyak rekayasa yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dan menyalahgunakannya.

Nah apa yang terjadi pada massa Orde Baru nampaknya berulang di zaman kekuasaan pasca Reformasi. 22 tahun setelah berjalan, Reformasi di pemerintahan Jokowi diwarnai dengan praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan, KKN merajalela, dan proyek pembelahan masyarakat dengan perlakuan tidak adil dipertontonkan.

Jokowi dikelilingi oligarki warisan Orde Baru

Jokowi yang merupakan anak kandung Reformasi ternyata dikelilingi kelompok oligarki dan pejabat yang pernah merasakan manisnya Orde Baru.

Kelompok ini tentu tak ingin kehilangan manisnya madu kekuasaan, sehingga dengan segala daya dan upaya berupaya menjerumuskan Jokowi ke dalam praktik perilaku Orde Baru.

Praktik pembelahan terhadap masyarakat yang pernah terjadi pada masa Orde Baru dengan menstigma kelompok kritis dengan sebutan teroris dan sejenisnya, teryata ini terulang di masa pemerintahan Jokowi. Kelompok kritis terutama dari kalangan Islam dimusuhi habis-habisan dengan stigma teroris dan kelompok radikal.

Untuk melegalkan praktik-praktik pembelahan yang bertentangan dengan semangat Pancasila yang bergotong royong dan bermusyawarah itu dibuatlah jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Seolah yang tidak sama dengan Jokowi dianggap sebagai musuh negara dan distigma sebagai kelompok radikal.

Untuk membenarkan praktik pembelahan itu, tak segan kalangan Orde Baru dan Komunis Gaya Baru di sekitar istana menyewa para buzzer yang sudah tak ada lagi nurani dan akal sehatnya.

Yang terbaru dalam rangka menjerumuskan Jokowi ke dalam praktik pelanggaran konstitusi, kalangan oligarki dan pejabat Orde Baru di sekeliling Jokowi yang meniru praktik-praktik Orde Baru dengan melanggar konstitusi.

Pertama mereka melemparkan isu pemunduran pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, namun karena banyak penentangan, maka jargon suara rakyat dengan “big dusta” dilemparkan, seolah pemunduran pemilu adalah kehendak rakyat. Untuk kesekian kalinya suara rakyat dimanipulasi.

Di tengah semakin sulitnya kehidupan rakyat, tentu tidak masuk akal rakyat butuh pengunduran pemilu, yang dibutuhkan rakyat adalah hidup sejahtera, mendapat pekerjaan dan upah yang layak, mudah mendapatkan sembako dengan harga murah.

Situasi keruntuhan Orde Baru saat itu mengalami kesamaan dengan situasi yang ada saat ini. Orang-orang sekeliling Jokowi berusaha mencari muka dan menjerumuskan Jokowi.

Kalau situasi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Jokowi akan mengalami nasib yang sama dengan Soeharto, digulingkan oleh kekuatan rakyat.

Semoga saja Jokowi menyadari dan kembali ke jalan yang benar dengan memberhentikan mereka yang nyata-nyata akan mengambil untung dengan isu pemunduran pemilu dan perpanjangan jabatan.

Surabaya, 18 Maret 2022
Isa Ansori
Kolumnis
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment