Suaramuslim.net – Untuk melarang anak melakukan sesuatu, biasanya secara spontan orang tua berkata ‘jangan.’ Misalnya kita bilang ke anak jangan lari, jangan coret-coret tembok, dan sebagainya.
Nah, bunda tahu nggak, penggunaan kata ‘jangan’ sebenarnya justru semakin memicu anak untuk melakukan hal yang kita larang, lho, Bun.
Untuk itu, psikolog anak Wikan Putri Larasati, M.Psi, menyarankan sebisa mungkin orang tua menghindari kata ‘tidak’ atau ‘jangan.’
Soalnya, kata Wikan anak bisa jadi malah meniru yaitu mereka jadi berkata ‘tidak’ ketika diminta melakukan sesuatu oleh orang tua. Selain itu, anak juga jadi lebih fokus pada perilaku negatif dibanding perilaku positifnya.
Mengapa kata “jangan” tidak boleh diucapkan kepada si kecil?
Bukan tanpa sebab kata “jangan” menjadi kata yang sering digunakan orang tua pada anaknya saat ini. Bisa jadi hal ini karena didikan yang telah diturunkan sejak awal.
Pada generasi bunda, ruang gerak anak masih sangat luas. Anak bebas bermain ke mana saja tanpa batasan. Untuk itu, orang tua menjadi tegas melarang dan membatasi ruang gerak yang terlalu luas tersebut.
Kata “jangan” pun menjadi kata yang ampuh untuk digunakan. Dari situlah ajaran tersebut tertanam dan diadopsi oleh generasi bunda saat ini. Padahal, perkembangan dari lingkungan anak sekarang sudah berbeda.
Tanpa dibatasi, ruang gerak anak sesungguhnya sudah sangat terbatas. Oleh karena itu, orang tua saat ini seharusnya lebih bisa menyesuaikan ajaran sehingga pesan yang ingin disampaikan pun tetap dapat diterima dengan baik oleh anak.
Apa akibatnya?
Dilansir dari line today, tidak berarti bunda sama sekali tidak boleh menggunakan kata “jangan” pada anak. Akan tetapi yang perlu dihindari adalah penggunaan yang berlebihan karena dapat berakibat buruk bagi perkembangan anak, terutama pada usia balita.
Oleh karena itu, orang tua harus bisa memilih kata-kata yang tepat dan mudah dimengerti. Kata “jangan” inilah yang harus diwaspadai.
Ketika mengatakan “jangan” kepada anak, bunda akan memberikan dua pengertian secara tidak langsung. Misalnya “Jangan duduk!” Ada kata “jangan” dan “duduk.”
Anak menjadi bingung mencerna kedua kata tersebut, apakah tidak boleh duduk atau harus duduk. Namun anak cenderung mengikuti kata terakhir yang mereka dengar dan akhirnya akan tetap duduk.
Selain itu, ketika kata “jangan” sering didengar, mereka dapat berpikir bahwa segala apa yang dilakukannya salah dan dilarang. Anaknya justru bingung apa yang sebenarnya bisa dilakukan. Akibatnya, rasa percaya diri anak menjadi kurang karena takut berbuat salah atau tidak tahu mana yang boleh dilakukan.
Jangan lupa, saat kata “jangan” terlalu sering digunakan maka fungsi kontrol yang terkandung di dalamnya menjadi hilang. Tidak ada lagi penegasan ketika orang tua melarang anak melakukan sesuatu yang benar-benar berbahaya dan mendesak, seperti saat si kecil terlalu dekat dengan api dan orang tua berteriak “Jangan!”
Cara melarang anak tanpa mengatakan “tidak atau jangan”
Dikutip dari hellosehat, ada banyak cara lain untuk melarang atau menegur anak tanpa mengatakan “tidak” dan “jangan.” Bunda bisa mencoba beberapa tips di bawah ini agar maksud bunda tetap tersampaikan pada anak dengan baik.
1. Jelaskan alasannya
Apabila si kecil memainkan makanannya, cobalah untuk mengingatkannya dengan nada yang tegas dan alasan yang jelas seperti, “Makanan itu untuk dimasukkan ke dalam mulut, bukan untuk diaduk-aduk seperti itu.”
Anak pun akan belajar bahwa bunda tidak menyetujui perilakunya karena memang yang ia lakukan tidak tepat, bukan hanya karena “pokoknya tidak boleh.”
Contoh lain misalnya si kecil membiarkan kamarnya berantakan, cobalah untuk menegurnya dengan mengatakan, “Kamarmu seharusnya untuk beristirahat, bukan untuk diacak-acak sampai berantakan. Lihat, sekarang tempat tidurmu tak bisa dipakai tidur lagi.”
2. Memberikan contoh langsung
Anak belajar tak hanya dari kata-kata bunda, tetapi juga melalui perbuatan bunda. Jika anak bunda selalu bertengkar dengan kakak atau adiknya karena berebut mainan, beri contoh bahwa berbagi dan saling pinjam itu lebih baik.
Bunda bisa sengaja bermain-main bersama dengan anak dan mainannya. Kemudian bunda bisa pura-pura meminjam mainan yang sedang dimainkan oleh anak dengan sopan. Jika ia tidak mau meminjamkan mainannya, mengalahlah.
Saat si kecil mencoba merebut mainan dari tangan bunda, ajak anak untuk bermain bersama dengan nada yang tetap tenang. Tunjukkan bahwa mainan tersebut bisa dipakai bersama.
Bunda juga bisa memberikannya pada anak dengan syarat seperti, “Silakan nak, tapi nanti kalau sudah selesai kembalikan lagi pada ibu, ya.”
Dengan begitu, anak pun belajar bagaimana caranya meminjam sesuatu dan apa yang harus dilakukan kalau seseorang berusaha mengambil sesuatu darinya. Ingat, proses ini memang harus dilakukan berkali-kali sampai anak menghafal polanya. Bersabarlah dan beri waktu bagi anak untuk memahami maksud bunda.
3. Ajak anak untuk bicara baik-baik
Hampir setiap orang tua pasti pernah menghadapi anak yang merajuk atau menangis meraung-raung supaya keinginannya dituruti. Ketika hal ini terjadi, mungkin naluri yang muncul adalah mengatakan “Jangan menangis seperti itu,” pada anak.
Daripada mengatakan hal tersebut, lebih baik sampaikan dengan positif seperti, “Bunda tahu kamu marah, tapi kalau kamu menangis seperti itu bunda jadi susah memahami apa yang kamu mau. Coba sampaikan pelan-pelan pada bunda.”
Dengan pendekatan seperti itu, anak akan belajar bahwa menangis dan merajuk tidak akan membuat keinginannya terpenuhi, tapi justru dengan bicara baik-baik.
Setelah bunda berhasil membujuk anak untuk menenangkan diri, anak akan jadi lebih mudah menerima penjelasan dan larangan yang bunda berikan.
Ketika anak sudah setuju dengan kata-kata bunda, puji dan ucapkan terima kasih agar anak menyadari bahwa bunda sangat menghargai perilakunya yang kooperatif. Dari situ anak pun belajar pentingnya mendengarkan dan saling berkompromi.