Hukum Cadar, Wajib, Sunnah atau Mubah?

Hukum Cadar, Wajib, Sunnah atau Mubah?

Suaramuslim.net – Cadar kini makin nge-trend. Penutup wajah ini mulai disukai berbagai kalangan terutama remaja. Model dan variasinya pun makin beragam. Bagaimana sebenarnya hukum cadar, sunnah, wajib atau mubah?

Banyak spekulasi masyarakat ketika melihat seorang Muslimah yang tampil menggunakan cadar. Ada yang berpandangan orang bercadar adalah orang yang sangat mendalam pemahaman agamanya. Ada juga yang berpendapat, mereka terlalu berlebih-lebihan dalam beragama bahkan juga ada yang terlalu sinis melabeli mereka dengan predikat ekstrimis hingga teroris.

Dalam fikih Islam, memang terdapat berbagai pandangan para fuqaha (ahli fikih) tentang cadar. Pandangan para fuqaha terkait tafsir ayat dalam surat an-Nur (24) ayat 31, “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.” Di sinilah muncul berbagai pendapat para ulama. Mayoritas ulama berpandangan, yang biasa tampak dari wanita ketika ayat ini diturunkan adalah wajah dan telapak tangan. Namun, ada juga pendapat-pendapat lainnya yang menafsirkan lain.

Seperti Mazhab Syafi’i dan Hanbali yang menganggap aurat wanita adalah seluruh tubuhnya. Kedua mazhab ini memerintahkan Muslimah untuk menutupi wajahnya dengan cadar. Para ulama dari mazhab ini berpandangan, ketika turunnya ayat hijab tersebut, para Muslimah langsung seketika mencari kain apa saja untuk menutupi aurat mereka.

Hal tersebut juga dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, “(Wanita-wanita Muhajirin) ketika turun ayat ini ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka’ (QS an-Nur [24]:31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR Bukhari).

Aisyah radhiyallahu anha juga mencontohkan bagaimana ketika itu para muslimah berpakaian setelah turunnya ayat tersebut, yaitu dengan menutupi wajah mereka. Para ulama dari kedua mazhab ini sering mengampanyekan betapa Islam menjaga wanita dengan menutupi seluruh tubuh mereka.

Muhammad bin Qaasim al-Ghazzi dalam kitabnya Fathul Qaarib juga berpendapat sama. Ia menjelaskan, “Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan,” katanya memaparkan.

Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahuti dalam Kasyful Qanaa’ juga memiliki pemaparan yang senada dengan di atas. Menurutnya, wajah dan telapak tangan adalah aurat ketika shalat. “Adapun di luar shalat karena adanya pandangan, maka hukumnya sama seperti anggota badan lainnya,” jelasnya.

Ulama yang Berpendapat Cadar Tidaklah Wajib
Jika pemaparan di atas adalah tentang para ulama yang menganjurkan wanita untuk bercadar. Pemaparan selanjutnya adalah tentang ulama yang tidak mewajibkan cadar. Di antaranya adalah ulama Hanafi dan Maliki.

Ulama Hanafi Asy Syaranbalali mengatakan, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar. “Ini pendapat yang lebih sahih dan merupakan pilihan mazhab kami,” kata Asy Syaranbali dalam Matan Nuurul Iidhah.

Kendati hukumnya bukanlah wajib, ulama Hanbali menganjurkan kaum Muslimah untuk mengenakan cadar dengan tujuan agar aman dari fitnah dan gangguan. “Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki,” ungkap Muhammad ‘Alaa-uddin dalam kitabnya, Ad-Dur Al-Muntaqa.

Ulama besar Mazhab Maliki Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya berpendapat, jika seorang wanita memiliki rupa yang cantik dan khawatir wajah dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Namun, bagi wanita yang sudah tua, mereka boleh saja menampakkan wajahnya.

Dari sekian banyak pendapat ulama, tak ada satu pun ulama yang secara tegas mewajibkan untuk memakai cadar sebagaimana wajibnya memakai jilbab. Ada ulama yang sebatas menyarankan, namun ada pula yang setengah mewajibkan. Hal itu semata-mata kembali pada kondisi dan situasi. Jika akan menimbulkan fitnah dan membuat mata lelaki jelalatan memandang wajahnya, tentu lebih disarankan untuk memakai cadar.

Kalangan yang sangat kuat mengampanyekan cadar untuk pengikutnya, tidaklah sampai pada taraf mewajibkan. Dalam artian, siapa yang tidak memakai cadar adalah berdosa. Bahkan, Syekh Nasruddin al-Banni pun tak berani mengatakan bahwa cadar adalah wajib. “Saya tidak mengatakan cadar itu wajib. Tetapi, istri dan keluarga saya, saya perintahkan untuk memakainya,” ujar al-Banni dalam kumpulan fatwanya.

Hal ini disebabkan adanya hadist sahih yang secara jelas berbicara soal batasan aurat wanita. Dari Aisyah RA, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan Asma’ binti Abu Bakar, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita apabila telah baligh tidak boleh lagi tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya).” (HR Abu Dawud).

Persoalan memakai cadar, mayoritas ulama lebih mengedepankan kondisi dan situasi dalam menetapkan hukumnya bagi para Muslimah. Jika ia berada dalam lingkungan yang aman dan jauh dari pandangan laki-laki ajnabi (laki-laki asing), tentu memakai cadar tidak lagi dibutuhkan. Memakai cadar bisa juga sebagai syiar syariat Islam kepada masyarakat. Namun, hal ini juga bisa berbalik dan menjadikan masyarakat antipati dengan syariat Islam.

Di beberapa lingkungan, memakai cadar malah mengundang sinis dari masyarakat. Orang bercadar dianggap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama. Tentu di lingkungan seperti ini, jika seorang Muslimah tampil dengan cadarnya akan menyulitkan dakwah. Awalnya, masyarakat mau bersimpati dengan dakwah, akibat tampil dengan cadar, mereka jadi bersikap sinis dan menjauh.(muf)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment