Suaramuslim.net – Hutang dan zakat, sama-sama berhukum wajib untuk ditunaikan di dalam Islam. Namun, manakah di antara keduanya yang harus ditunaikan terlebih dahulu? Berikut ulasannnya.
Membayar zakat memang bagian dari rukun Islam yang lima. Dan seorang yang menolak untuk membayar zakat, selain berdosa, juga dianggap telah menghujat kedaulatan umat Islam. Sehingga khalifah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Di sisi lain, hutang juga merupakan kewajiban yang wajib untuk dibayarkan. Sekadar untuk menggambarkan bagaimana urgensi dan pentingnya hukum membayar hutang, bisa kita perhatikan ketentuan buat orang yang mati syahid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa seorang yang mati syahid dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala bisa masuk surga tanpa hisab. Namun untuk itu ada syaratnya, yaitu bila masih punya hutang, tetap saja tidak bisa masuk surga. Sampai dia menyelesaikan terlebih dahulu urusan hutang-hutangnya kepada sesama manusia.
Namun, apabila kedua kewajiban ini disandingkan, akan menjadi sebuah pertanyaan menarik, mana yang harus didahulukan dari keduanya?
Harus Terbebas Dari Harta “Semu”
Dalam salah satu kitab yang cukup populer adalah fiqih zakat susunan Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Pada jilid pertama, Yusuf Qardhawi menerangkan kriteria harta yang wajib dizakatkan. Rupanya, tidak semua jenis harta terkena kewajiban zakat. Ada beberapa kriteria tertentu yang harus terpenuhi agar harta itu berstatus wajib dizakatkan.
Ringkasnya, di antara sekian banyak syarat yang disebutkan dalam kitab itu, salah satunya adalah bahwa harta itu telah melebihi kebutuhan dasar. Istilah yang dipopulerkan dalam kitab tersebut adalah al-fadhlu ‘anil alhajah al-ashliyah.
Yusuf Qardhawi menjelaskan, “Seandainya ada seseorang yang pada dasarnya punya harta melebihi nishab, namun kebutuhan dasarnya jauh lebih besar, maka harta itu harus untuk menutupi kebutuhan paling dasar terlebih dahulu. Bila masih ada sisanya, barulah dikeluarkan zakatnya,” tulis Qardhawi dalam kitabnya.
Selain itu, pemilik harta itu terbebas dari beban harus membayar hutang. Istilahnya as-salamatu minad-dain. Maksudnya, seseorang baru dibebani untuk berzakat manakala harta yang dimilikinya bebas dari hak milik ‘semu’ milik orang lain. Seorang yang berhutang dan sudah jatuh tempo untuk membayarnya, jelas-jelas punya kewajiban nomor satu untuk membayar hutangnya. Sedangkan kewajiban bayar zakat baru muncul manakala hutang yang menjadi kewajiban membayar hutangnya terlebih dahulu.
Demikian uraian antara pendahuluan kewajiban hutang dan membayar zakat. Semoga bermanfaat. (muf/smn)