JAKARTA (Suaramuslim.net) – Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) memperkirakan jika pemerintah tidak mengambil langkah signifikan untuk melindungi sawah yang tersisa maka akan terjadi kepunahan sawah di aglomerasi Jakarta (Jabodetabek plus Cianjur, Karawang dan Serang) dalam beberapa dekade kedepan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, lahan sawah di Jawa, terutama di kawasan aglomerasi Jakarta, mengalami ancaman serius akibat urbanisasi yang tidak terkendali.
Untuk memahami besarnya konversi lahan ini, IDEAS melakukan pengukuran luas sawah menggunakan metode digitasi berbasis citra satelit dari Google Earth, yang memungkinkan pemetaan secara akurat terhadap lahan yang telah beralih fungsi.
“Dengan metode digitasi tutupan lahan berbasis citra satelit ini, kami melakukan proses interpretasi dan digitasi secara on-screen untuk menghasilkan peta tutupan lahan (sawah) di wilayah aglomerasi Jakarta,” ujar Sri Mulyani, Peneliti IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Senin (03/02/2025).
Penetapan Jabodetabek-Punjur sebagai kawasan strategis nasional, yang diikuti dengan proyek infrastruktur berskala besar, justru semakin mempercepat alih fungsi lahan sawah. Urbanisasi yang semakin meluas memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan pertanian, memicu konversi lahan sawah menjadi permukiman dan industri.
“Laju pertumbuhan kota yang pesat, kebutuhan akan perumahan, industri, dan infrastruktur telah menyebabkan alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali. Di koridor timur, selatan, dan barat Jakarta, lahan sawah semakin tergerus, mengancam ketahanan pangan dan masa depan pertanian di kawasan ini,” kata Sri Mulyani.
Di koridor timur, yang mencakup Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Karawang, luas lahan sawah yang tersisa pada tahun 2024 adalah sekitar 129.830 hektar. Jumlah ini jauh berkurang dibandingkan tahun 2019 yang masih mencapai 160.004 hektar.
Artinya, dalam lima tahun, sekitar 30.174 hektar sawah telah beralih fungsi, dengan tingkat konversi mencapai 4,09 persen per tahun.
“Bekasi tercatat memiliki laju konversi sawah yang paling tinggi, mencapai 8,70 persen per tahun, dengan kehilangan sekitar 4.205 hektar sawah setiap tahunnya. Jika tren ini terus berlanjut tanpa ada intervensi kebijakan yang kuat, maka lahan sawah di Bekasi diperkirakan akan habis pada tahun 2033,” ungkap Sri Mulyani.
Sementara itu, Karawang, yang selama ini dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Barat, juga mengalami penyusutan sawah, meskipun dengan laju yang lebih rendah, yaitu sekitar 1,79 persen per tahun.
Di sisi selatan Jakarta, yang mencakup Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Cianjur, kondisi yang terjadi tak jauh berbeda.
Pada tahun 2019, luas lahan sawah di kawasan ini masih mencapai 113.766 hektar, namun pada tahun 2024 diperkirakan hanya tersisa 87.013 hektar. Artinya, selama lima tahun terakhir, sekitar 26.753 hektar sawah telah hilang, dengan laju konversi mencapai 5,22 persen per tahun.
“Kabupaten Bogor menjadi wilayah yang paling cepat kehilangan lahan sawahnya, dengan tingkat konversi mencapai 6,38 persen per tahun, setara dengan hilangnya 2.591 hektar sawah setiap tahunnya. Jika pola ini terus berlanjut, maka lahan sawah di Bogor bisa punah pada tahun 2037,” papar Sri Mulyani.
Cianjur pun menghadapi situasi serupa, dengan kehilangan 2.762 hektar sawah per tahun, yang berpotensi membuat seluruh sawah di wilayah ini habis pada tahun 2044.
Sementara itu, di koridor barat Jakarta, yang mencakup Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kabupaten Serang, dan Cilegon, luas lahan sawah juga terus menyusut.
Pada tahun 2019, kawasan ini masih memiliki 100.398 hektar sawah, namun pada tahun 2024 hanya tersisa 79.673 hektar. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 20.725 hektar sawah telah hilang, dengan tingkat konversi rata-rata mencapai 4,52 persen per tahun.
“Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang mengalami laju konversi sawah yang cukup tinggi, yakni 3,73 persen per tahun. Jika tren ini terus berlanjut, maka lahan sawah di Tangerang dan Serang diperkirakan akan habis pada tahun 2048,” ujar Sri Mulyani.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tekanan urbanisasi terhadap lahan pertanian semakin besar. Jika tidak ada kebijakan tegas untuk melindungi lahan sawah, maka dalam beberapa dekade ke depan, kawasan-kawasan yang dahulu menjadi lumbung pangan di sekitar Jakarta akan kehilangan fungsi pertaniannya.
“Dampaknya bukan hanya bagi petani yang kehilangan mata pencaharian, tetapi juga terhadap ketahanan pangan nasional yang semakin rentan. Hal ini menjelaskan mengapa luas lahan panen padi nasional konsisten menurun dalam 6 tahun terakhir,” tutur Sri.
Pada 2018, luas lahan panen padi nasional masih mencapai 11,38 juta hektar, tetapi pada 2023 angka ini telah menyusut menjadi hanya 10,21 juta hektar. Akibatnya, produksi beras nasional pun terus melemah, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi hanya 30,9 juta ton pada 2023.
Penurunan produksi dalam negeri ini menyebabkan lonjakan impor beras yang semakin besar, dari 3,06 juta ton pada 2023 menjadi 4,52 juta ton pada 2024.
“Dengan semakin berkurangnya lahan sawah, Indonesia semakin kehilangan kendali atas produksi pangannya sendiri, yang pada akhirnya melemahkan kedaulatan pangan dan mengancam keberlanjutan budaya pangan nasional,” tutup Sri Mulyani.
Pewarta: Mutia Arifin
Editor: Muhammad Nashir