JAKARTA (Suaramuslim.net) – Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengingatkan pemerintah bahwa salah satu pelajaran terpenting dari serangan gelombang kedua Covid-19 adalah urgensi menjaga perbatasan dari pengunjung yang berasal dari episentrum wabah.
Pembatasan yang ketat bahkan menutup perbatasan dan melarang perjalanan dari luar wilayah menjadi keharusan untuk menjaga masuknya kembali virus.
“Virus varian delta yang merebak di India sejak Maret 2021 dan berpuncak pada Mei 2021, tidak membuat Indonesia menutup pintu perbatasan dari wisatawan India,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (13/8/2021).
Yusuf menambahkan pada bulan Maret 2021, tercatat 603 wisatawan India masuk ke Indonesia. Bulan April 2021, ketika banyak negara telah melarang masuknya warga India ke negara mereka, Indonesia justru menerima wisatawan India semakin banyak yaitu 880 orang.
“Bahkan pada bulan Mei 2021, puncak ledakan varian delta di India, Indonesia masih menerima kedatangan 296 wisatawan India. Tidak berkaca pada kasus masuknya virus Covid-19 pertama kali dari Wuhan pada 2020, pemerintah kembali mengulang kesalahan yang sama pada kasus serangan gelombang kedua,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf gelombang kedua menjadi kisah kelabu yang membuka tabir gelap, yaitu betapa ringkihnya negeri ini melawan pandemi.
“Hanya di bulan Juli 2021 saja, terjadi 1,2 juta kasus positif dengan 35 ribu kematian. Sistem kesehatan nyaris lumpuh, rumah sakit penuh sesak hingga ke lorong dan parkiran, obat dan oksigen sulit didapat, tenaga kesehatan bertumbangan, hingga ambulans antre di pemakaman,” papar Yusuf.
IDEAS mencatat pada Juli 2021, rata-rata kasus aktif mencapai 450 ribu, tiga kali lipat dari puncak gelombang kesatu, dan rata-rata BOR (bed occupancy ratio) mencapai 73,8 persen. Angka kematian rata-rata di atas 1.100 kasus per hari.
Penularan yang tidak terkendali dan tumbangnya sistem kesehatan, membuat korban jiwa menjadi sangat besar. Angka kematian karena Covid-19 diduga kuat jauh lebih tinggi dari angka resmi. Hal ini terlihat dalam kasus DKI Jakarta, daerah dengan kualitas data pandemi terbaik.
“Di sepanjang Juli 2021, rata-rata positivity rate harian DKI Jakarta menembus 40 persen, jauh di atas ambang 5 persen yang mengindikasikan penularan yang tidak terkendali, dengan rata-rata BOR menembus 82 persen,” ucap Yusuf.
Yusuf mengungkap total kematian di DKI Jakarta selama Juli 2021 berada di kisaran 3.700 kasus, namun di waktu yang sama pemakaman dengan protap Covid-19 menembus 8.500 kasus.
Duka lara akibat gelombang kedua ini nampak belum berakhir di Juli 2021. Di awal Agustus 2021, meski angka penularan telah menurun drastis sebagai hasil adopsi PPKM Darurat dan PPKM Level 4, namun angka kematian masih terus tinggi dan tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
“Dalam 3 pekan terakhir angka kematian harian konsisten berada di atas seribu kasus. Pada 16 Juli-10 Agustus 2021, rata-rata angka kematian harian menembus 1.500 kasus,” ungkap Yusuf.
Angka resmi tersebut menurutnya masih konservatif mengingat angka pemakaman dengan protap Covid-19 jauh lebih tinggi, dan banyak kasus kematian Covid-19 di luar rumah sakit yang tidak terdeteksi.
“Alih-alih memperbaiki dan meningkatkan kualitas data kematian, agar dapat diperoleh peta ‘perang melawan virus’ yang lebih sahih, pemerintah justru menghapus indikator kematian dalam penentuan intervensi non farmasi suatu daerah,” imbuh Yusuf.
Dengan tegas Yusuf menyatakan bahwa jejak pandemi Indonesia adalah jejak hilangnya kesempatan untuk mencegah penyebaran virus dan hilangnya nyawa anak bangsa. Terlalu banyak waktu dan kesempatan yang terbuang, jangan lagi ada nyawa hilang sia-sia karena penyangkalan, kelalaian dan ketidakpekaan.
“Saatnya mengakhiri kebebalan ini. Dibutuhkan perubahan kebijakan yang drastis, secepatnya, untuk memutus transmisi virus, mencegah ledakan infeksi berikutnya dan menekan kematian, terutama di daerah pedesaan dan luar Jawa,” tutup Yusuf.