Suaramuslim.net – Dalam sejarah umat terdahulu, al-Bukhari meriwayatkan bahwa kaum Bani Israil diurus oleh para nabi dari urusan ibadah sampai politik kenegaraan, sehingga kita bisa mendapati nabi-nabi Bani Israil ada yang menjadi raja, orang kaya dan panglima. Sementara dalam tradisi umat Islam, yang menjadi pewaris nabi adalah ulama. Sehingga peran ulama akhir jaman bisa “disandingkan” dengan para nabi Bani Israil dalam hal mengurusi umatnya, termasuk urusan politik.
Berkaitan dengan ulama dan politik, hari ini (27/7/2018) sampai 29 Juli 2018 nanti diselenggarakan Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional untuk mengokohkan persatuan umat dan bangsa. Beberapa kalangan mengaitkan pertemuan ini dengan agenda politik. Apalagi ada partai politik yang ikut hadir dan memberikan sambutan pada malam pembukaan. Partai politik yang pada pilkada DKI 2017 lalu berkoalisi mengantarkan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta. Anies Baswedan pun, dijadwalkan hadir untuk membuka ijtima’ dalam kapasitas sebagai kepala daerah.
Ketua panitia Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional, Muhammad Nur Sukma menyebut kegiatan ini memang digelar dalam rangka menghadapi tahun politik 2019. Untuk menyatukan langkah perjuangan umat Islam yang dipimpin ulama, dan mengokohkan persatuan. Kemudian mengerucutkan langkah bersama kalau memang sampai pada rekomendasi calon pemimpin nasional.
Sekitar 500 ulama dan tokoh nasional dijadwalkan hadir dari seluruh daerah di Indonesia. Selain membahas kepemimpinan nasional, pertemuan ini juga membahas penguatan ekonomi umat, strategi dakwah dan persoalan kelembagaan, ujar Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama, Yusuf Martak.
Ulama Kini dan Para Wali
Ketika saya menjadi pembawa acara program talkshow Ranah Publik di Suara Muslim Radio Network, ada pendengar interaktif yang menyuarakan posisi ulama yang seharusnya tidak dijadikan alat oleh kepentingan penguasa. Hal ini memang benar dan begitulah harapan kita. Namun hal lain dari pernyataan ini adalah betapa jauhnya jurang antara ulama dan penguasa yang dirasakan umat. Sesuatu yang pada era awal Islam justru melekat atau berkaitan erat.
Kita punya Muhammad Al-Fatih, seorang hafiz al-Qur`an tapi juga panglima perang terbaik dan dia didampingi ulama. Kalau ditarik lebih awal, generasi Khulafa Ar-Rasyidin (empat pemimpin kaum muslimin setelah masa Rasulullah saw) adalah para ulama yang juga menjadi khalifah (pemimpin negara).
Bagaimana ketika kondisi pemimpin sudah tidak berkapasitas ulama seperti contoh-contoh di atas? Marilah kita tengok apa yang dilakukan dan diwariskan para wali di nusantara (Wali Songo).
Biasanya pembicaraan tentang dakwah wali songo hanya pada dakwah lewat kebudayaan dan metodenya. Tapi dalam sejarah kenegaraan di nusantara, wali songo itu politisi hebat. Mungkin, kita perlu berguru kepada wali songo. Mereka adalah ulama yang paham politik. Setelah dakwah melalui pendekatan budaya, akhirnya bagi mereka kekuasaan itu penting untuk mengatur umat.
Kalau lah dulu para wali ini tidak peduli urusan politik, tentunya tidak perlu membuat negara (kerajaan) Demak. Padahal dewan wali ini yang mengadakan pertemuan; semacam ijtima’ ulama pada saat ini, dan kemudian mendeklarasikan sebuah negara (dengan memberi mandat kepada Raden Patah yang sudah diajari bagaimana prinsip kenegaraan dalam perspektif Islam untuk mendirikan kerajaan Demak).
Andaikan dewan wali ini tidak peduli negara, tidak peduli kekuasaan dan tidak berpolitik, maka yang terjadi hanya melanjutkan kerajaan Majapahit. Mungkin dengan tambahan nama menjadi “Majapahit Syariah”.
Kenapa kemudian para wali ini mendirikan negara Demak? Karena persoalan negara ini penting. Semua urusan baik itu ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan, maupun seluruh kehidupan ini diatur oleh negara. Bahkan, masalah hubungan dengan istri saja diatur oleh negara melalui mekanisme UU Perkawinan.
Ketika berbicara perekonomian umat yang terseok-seok dan perlu perbaikan, ada peran negara yang seharusnya punya kepedulian terhadap perekonomian umat pribumi anak negeri. Problem ini tidak bisa diselesaikan oleh umat bersama ulamanya saja.
Seluruh ijin tambang, perusahaan, ruko, mart-mart yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke ini berdiri bukan karena ijin MUI (ulama) tapi kepala daerah, bupati, walikota, penguasa. Anda mau membangun rumah saja perlu IMB, ijin dari penguasa. Menyetir mobil juga perlu SIM, yang menerbitkan SIM dan IMB ini bukan takmir masjid, tapi instansi pemerintahan yang berwenang sampai nanti kepada walikota, bupati, gubernur dan presiden.
Akhir dari tulisan ini, saya penasaran. Akankah ijtima’ ulama yang dilaksanakan selama tiga hari akan memberikan rekomendasi “calon pemimpin” peduli umat yang didukung ulama dan umat, sebagaimana dewan wali memilih Raden Patah? Mari kita tunggu.