Ironi Muslim di Politik Indonesia

Ironi Muslim di Politik Indonesia

Panitia Sembilan. (Foto: Hariansejarah)

Penulis: Misbahul Huda

Suaramuslim.net – Sejarah membuktikan dari pra kemerdekaan hingga sekarang peran umat Islam dalam mewarnai bangsa Indonesia tidak pernah pudar. Ketika penyusunan Piagam Jakarta, tokoh seperti Abdul Wahid Hasyim, H. Agoes Salim adalah dua di antara tokoh penting Panitia Sembilan.

Ketika kemudian sila pertama berbunyi – Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja – kemudian diubah menjadi –Ketuhanan Yang Maha Esa-, itu artinya pintu pemerintahan terbuka lebar bagi siapa saja. Muslim, non muslim, nasionalis, komunis, saat itu bisa menguasai pemerintah.

Partai Islam besar kemudian muncul Masjumi. Demi keinginan untuk lebih mewarnai bangsa Indonesia ketika itu. Perlombaan antar partai terjadi, Nasionalis, Komunis, Agama.

Hal ini berdasar kepada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Salah satu potongannya mempersilakan umat Islam berkuasa, tapi rebutlah dengan cara duduk di kursi legislatif.

“Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.”

“Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.”

Artinya sah-sah saja kita sebagai orang Islam ingin merebut kursi legislatif. Bukan untuk mengubah dasar Pancasila, tapi mewarnai Pancasila itu dengan sila-sila yang sudah dicetuskan para Founding Fathers. Menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Kita selalu bangga dengan Turki yang dipimpin Erdogan, silau dengan kepemimpinannya. Tapi lupa dengan proses yang dilakukan oleh Erdogan. Membuat partai, kompak bersama masyarakat, dipilih. Hingga banyak masjid menggemakan azan, anak-anak muda bermobil jama’ah di masjid.

Muslim Indonesia jika ingin seperti itu, tidak bisa hanya sebatas memuji, silau, takjub, lalu kemudian enggan memilih. Kita harus melewati prosesnya. Memilih itu penting, sangat penting. Peran serta kita terhadap bangsa Indonesia yang paling mendasar adalah memilih pemimpin yang baik.

Kalau kita mendambakan seperti Turki, tapi tidak mau memilih, pada akhirnya kita hanya mendapatkan ironi. Mengumpat pemimpin, tapi tidak mau memilih pemimpin. Padahal bisa jadi, selisih suara yang menyebabkan kemenangan, selisih 10%, adalah keengganan teman-teman muslim sendiri.

Ayo kita bangkit. Ingat pesan Bung Karno yang tercantum di atas. Tidak harus memilih saya. Pilih pimpinan di masing-masing wilayah yang setidaknya tidak memusuhi Islam, bila perlu yang membela Islam.

Kita bukan radikal, kita sedang menjalankan pesan pendiri bangsa, Bung Karno. Kita harus buktikan bahwa Islam di Indonesia adalah agama yang memang berkobar-kobar.

*Mantan direktur utama di empat grup Jawa Pos. Eks direktur utama di PT Energi Agro Nusantara, ketua Gerakan Wakaf Indonesia Jatim, penulis buku best seller, trainer dan motivator serta caleg DPR RI 2019 PKS dapil Surabaya-Sidoarjo.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment