Ketika Orang Gila Ikut Pemilu

Ketika Orang Gila Ikut Pemilu

Ketika Orang Gila Ikut Pemilu
Komisioner KPU Surabaya Nurul Amalia dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya Dr. Suparto Wijoyo dalam talkshow Ranah Publik di Suara Muslim Surabaya (26/11/18). (foto: Suaramuslim.net)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Komisi Pemilihan Umum masih meramu aturan tentang pemilih kategori orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Di antaranya peraturan soal “orang gila” bisa memiliki hak pilih dalam pemilu namun harus dibarengi dengan keputusan dari dokter jiwa. Jika tidak memiliki kesadaran dalam menentukan pilihan, maka tidak bisa dipaksakan untuk memilih.

 Asalkan Kantongi Surat dari Dokter

Komisioner bidang Teknis KPUD Surabaya Nurul Amalia dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (26/11) mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang berdiri di atas UUD, apa yang dilakukan merupakan implementasi UUD yang sudah ada, seperti pasal 198 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa warga negara Indonesia (WNI) yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Mereka didaftar satu kali oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih.

“Pasal 198 UU Pemilu tidak secara eksplisit menyebutkan, orang sakit jiwa tidak boleh memilih, maka kami tidak boleh tebang pilih, karena itu hak warga negara,” tuturnya.

Melalui aturan itu, Nurul menyebut, siapa pun yang masuk dalam kategori, dilakukan pendataan. Pada awal dahulu, lanjutnya, saat membuat daftar pemilih tetap (DPT) masih belum ada keterangan tentang kondisi khusus seseorang di kolom DPT, seperti misalnya kategori disabilitas. Namun sekarang sudah dilengkapi.

“Di akhir-akhir ini kita mulai merasakan itu. Pada kolom DPT ada kategori disabilitas, kami sebagai penyelenggara bertugas melayani pemilih sesuai dengan kondisinya. Bagaimana pun kondisi seseorang harus dapat terlayani,” jelasnya.

Nurul menilai, draf Peraturan KPU Pasal 84 disebutkan, pengelola rumah sakit jiwa menyiapkan data pemilih dan menerbitkan surat keterangan dokter bagi pasien rumah sakit jiwa yang tidak memiliki kemampuan untuk memilih sebagai dasar untuk dilakukan pendataan sebagai pemilih paling lambat 3 hari sebelum hari pemungutan suara.

“Di sinilah inti diskusi yang sedang ramai di publik, bahwa “orang dengan gangguan jiwa” bisa mencoblos jika memiliki surat keterangan sehat dari dokter. Bila dokter mengatakan dia bisa memilih, ya bisa. Jika tidak ada surat dokter, maka tidak bisa memilih,” jelasnya.

Perlakuan pemilih di lapangan akan diatur dalam PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara yang saat ini masih berlangsung, lanjut Nurul, tentunya pembuatan PKPU tidak ujug-ujug jadi perlu melihat dari UU, teknis di lapangan dan melakukan uji publik serta mengundang para pakar.

“Sehingga tidak semua yang masuk DPT dapat memilih, ada syarat-syarat tertentu di antaranya, mendapat form C-6, menggunakan hak pilih dengan menunjukkan KTP elektronik (e-KTP), dapat mencoblos di TPS yang sesuai termasuk surat keterangan bagi yang pernah sakit, jadi tidak mungkin orang-orang gila di jalan itu termasuk,” ungkapnya ketika menjawab pertanyaan tentang orang gila di luar rumah sakit jiwa apakah juga bisa memilih.

Orang Gila Menjadi Pemilih

Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga Surabaya Dr Suparto Wijoyo, SH, M.Hum dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (26/11) menyatakan, banyak orang tidak memahami undang-undang yang ada di Indonesia itu sangat bertauhid.

“Jika seseorang bertauhid mestinya cara berpikir juga dilandasi nilai-nilai ketuhanan. Banyak orang lupa baca UUD dengan makna-makna teologinya, tapi langsung menuju pasal-pasal dan ayat. Padahal pasal-pasal selalu menyebut dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, artinya jika tidak ada penyebutan nama Tuhan maka seluruh regulasi batal demi hukum,” ungkapnya.

Suparto menyebut, dalam pandangan hukum Tuhan, seluruh manusia dan jin pada dasarnya mempunyai “equality before the law”, asas persamaan di hadapan hukum. Seorang muslim diwajibkan untuk beribadah, tetapi kondisi itu akan tidak berlaku saat dia memiliki ketidaksamaan kondisi dan situasi yang berbeda, misalnya orang tidak berakal.

“Orang yang tidak berakal dalam sebuah agama, mereka yang tidak mempunyai keakalan pada standar normal, maka Allah membebaskannya dalam beribadah karena agama diperuntukkan bagi orang berakal. Untuk itu dalam prinsip hukum, orang gila tidak dapat diminta pertanggungjawaban hukum. Sehingga, equality before the law hanya berlaku jika kondisinya sama,” jelasnya ketika mengomentari pertanyaan tentang semua WNI punya hak sama dalam memilih di pemilu.

Suparto menegaskan, saat ini terdapat pergeseran norma dalam aturan. Jika dahulu syarat untuk menjadi Presiden hingga menjadi penyelenggara pemilu mereka yang sehat jasmani dan rohani, maka sekarang tidak. Dalam narasi norma sejak amandemen konstitusi UUD 45, lanjutnya, tidak menyatakan seseorang sehat jasmani dan rohani tetapi mampu secara jasmani dan rohani.

“Termasuk urusan memilih adalah urusan mampu dan tidak mampu. Mampu dalam bahasa hukum mempunyai legal capacity, mampu secara jasmani dan rohani, bukan urusan sehat atau tidak,” tuturnya menjawab pertanyaan tentang orang gila yang dibolehkan ikut memilih di bilik suara pemilu.

Menurut Suparto, untuk memutuskan orang mampu secara jasmani dan rohani mestinya meminta pertimbangan hukum kepada pengadilan, bukan kepada rumah sakit. Karena dokter adalah medical capacity, sedangkan kapasitas medis berbeda dengan kapasitas hukum.

“Orang gila bukan urusan sehat atau tidak, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan jasmani dan rohani,” pungkasnya.

Kontributor: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment