ISEF 2018: Indonesia Perkuat Industri Produk Halal

ISEF 2018: Indonesia Perkuat Industri Produk Halal

Menyoal Unicorn, Ekonom Unair: Harus ada Regulasi Agar Uang Kita Tidak Lari ke Luar Negeri
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Yudi Harymukti (batik hijau) bersama Dr. Imron Mawardi, Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Jatim di radio Suara Muslim Surabaya (17/12/18). (Foto: Suaramuslim.net)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan sektor industri halal. Hal ini tercermin dari persentase penduduk Indonesia yang merupakan 12,7 persen dari populasi penduduk muslim dunia dengan didukung peningkatan kesadaran akan pentingnya konsumsi sektor industri halal. Sayangnya, pemasaran produk makanan halal belum mampu menguasai pasar global.

Besarnya potensi Indonesia di sektor industri halal dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Kendati demikian, tantangan yang dihadapi pengusaha Indonesia juga tidak mudah. Sebab, saat ini banyak negara yang secara serius mengembangkan industri makanan halal. Bukan saja dari negara muslim tetapi juga non-muslim.

Dalam rangkat terus mendorong pertumbuhan industri halal dalam negeri, Bank Indonesia melaksanakan Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) di Surabaya untuk kelima kalinya dari tanggal 11 sampai 15 Desember 2018.

Pengembangan Industri Halal

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Yudi Harymukti dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (13/12) menyatakan alasan Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) digelar di Jawa Timur karena pusat ekonomi syariah ada di Jawa Timur, selain jelas karena jumlah penduduk didominasi umat muslim juga ada ribuan pesantren dan santri tumbuh di provinsi yang memiliki 38 kabupaten dan kota ini sehingga Jawa Timur mempunyai potensi terbesar dalam pengembangan syariah.

”Festival ekonomi dan keuangan syariah terbesar di Indonesia yang kelima ini merupakan kerja sama Bank Indonesia dengan Komite Nasional Keuangan Syariah mengangkat tema “Strengthening National Economic Growth: The Creation of Halal Value Chains and Innovative Vehicles,” jelasnya.

Yudi menjelaskan, penyelenggaraan ISEF 2018 telah berhasil meraup nilai penandatanganan kerja sama hingga Rp7 triliun. Nilai tersebut akan bertambah seiring dengan kesepakatan yang dimulai pada saat bussiness matching.

“Karena kita sudah memasuki tahun ke-5, ISEF sudah berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya melakukan diskusi, FGD. Tahun ini ISEF berupaya bagaimana bisa berkontribusi dalam pengembangan ekonomi syariah secara riil bukan malah menyelesaikan masalah dengan makalah, tetapi langkah nyata,” tuturnya.

Menurut Yudi, industri halal sudah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru, untuk itu, pemerintah bersama Bank Indonesia selaku otoritas moneter selain bertugas menjaga stabilitas nilai rupiah juga memberi kontribusi nyata bagi pertumbuhan nyata ekonomi nasional.

“Jadi, negara Indonesia sekarang menghadapi masalah structural current acccount deficit yang berimbas pada gejolak nilai tukar sehingga arahan gubernur BI untuk memaksimalkan potensi industri halal,” jelasnya.

Yudi mencontohkan beberapa negara non-muslim yang menggembangkan industi halal. Di antaranya, Korea Selatan mempunyai visi menjadi destinasi utama pariwisata halal, Thailand mempunyai visi dapur halal dunia, Jepang menjadikan industri halal sebagai kontributor kunci pada tahun 2020, Australia dengan visi menjadi pemasok daging sapi halal ke Arab, dan negeri tetanga Malaysia ingin menjadi industri halal dan keuangan syariah global di tahun 2020.

“Menurut saya memprihatinkan mereka mayoritas bukan beragama muslim, tetapi kenapa kita masih kalah, jangan sampai kita terus menjadi pangsa pasar,” tanyanya.

“Kita tercatat indutri terbesar sebagai pasar konsumen industri halal berupa makanan, pariwisata, dan fashion muslim. Ini menghawatirkan karena kita menguasai hanya sebagai konsumen bukan pelaku,’’ jelasnya.

Salah satu permasalahan yang ditemukan Yudi, yaitu keterbatasan produsen untuk mendapatkan sertifikasi halal, karena tentunya negara-negara yang menjadi pasar produk halal ingin kepastian produknya dari hulu ke hilir mendapat label halal.

“Kami di kantor perwakilan BI Jawa Timur berinisiatif memfasilitasi UMKM untuk mendapatkan sertifikat halal. BI Jatim sudah membantu 100 UMKM yang bekerjasama dengan LPPOM MUI,’’ ungkapnya.

Meski demikian, Yudi menilai, saat ini tantangan ekonomi syariah masih cukup banyak karena sumbangan dari ekonomi syariah terhadap perekonomian nasional hanya 8%, pangsa pasar perbankan syariah 5%. Tentu peluang ini masih sangat besar dikarenakan penduduk muslim merupakan mayoritas di Indonesia dan natinya akan berguna bagi kemaslahatan umat.

Membangun Ekosistem Industri Halal

Hal yang sama diungkapkan oleh Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Jawa Timur Dr. Imron Mawardi dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (13/12), ia menyebut sejak 2014 Jawa Timur sebagai pilot project pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia dengan melihat berbagai kekuatan yang ada di dalamnya.

‘’Menurut Global Islamic Economy Indicator (GIEI) sebetulnya ada 6 indikator ekonomi syariah antara lain bidang islamic finance, halal food, media, pariwista, farmasi dan kosmetik. Jawa timur mempunyai potensi yang besar,’’ tuturnya.

Menurut Imron, sebetulnya jika melihat industri halal secara mainstream artinya yang tidak berkaitan dengan 5 hal yaitu, tidak berkaitan ribawi, tidak mengandung spekulasi, tidak gharar, bukan pada produk haram, maka bisa disebut industi halal juga.

“Jika beranggapan industri halal masih belum besar pangsanya maka bisa dilihat seperti industri pertambangan, perkebunan kan sebenarnya juga masuk halal, tetapi ini di luar indikator GIEI. Jika kemaslahatan ingin ada di Indonesia tentunya semua industri yang dijalankan harus sesuai dengan kaidah halal,’’ ungkapnya.

Namun, Imron menilai, umumnya masyarakat dan produsen tidak terlalu peduli tentang masalah kehalalan, pahahal masalah ini substansial sesuai dengan sabda Rasul Saw “sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak.”

“Misalnya kita datang ke restoran,  jarang di antara kita bertanya apakah makanan yang tersedia halal atau tidak, bahkan seorang teman dari luar negeri menyatakan sangat sulit mencari makanan halal (bersertifikat) di Indonesia dan lebih mudah di Thailand. Karena disini sama-sama tidak ditulisi antara yang halal dan haram,’’ tuturnya.

Imron menyatakan untuk menguatkan industri halal memerlukan law enforcement, ketika UU Jaminan Produk Halal diberlakukan tahun 2019 maka memerlukan suatu standar dan birokrasi yang mudah.

“Selain itu, masyarakat sebagai produsen industri halal memerlukan aturan yang kuat berkaitan dengan produk impor. Ketika produsen sudah mengurus sertifikasi halal tapi di pasar malah produk impor tanpa sertifikasi malah menjatuhkan semangat produsen. Disini tidak mudah karena di Indonesia ada banyak sekali pelabuhan yang tersembunyi yang sangat memungkinkan barang luar negeri masuk secara illegal, ini yang harus menjadi perhatian pemerintah,” pungkasnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment