Istihlal Atau Halal Bihalal Adalah Amal Saleh

Istihlal Atau Halal Bihalal Adalah Amal Saleh

Istihlal Atau Halal Bihalal Adalah Amal Saleh
Ilustrasi dua orang laki-laki bersalaman. (Ils: PENS/Elmanita Kirana)

Suaramuslim.net – Surat An Nahl ayat 97 memberikan motivasi kepada kita untuk selalu beramal saleh yaitu amal yang positif dan berlandaskan syariat Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa pun yang melakukan amal saleh tersebut akan mendapatkan dua balasan;
a. Kebahagiaan, rasa senang dan tenang.
b. Surga Allah di akhirat nanti.

Allah berfirman dalam surat An Nahl 97

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Dan di antara amal saleh yang sekarang sudah mentradisi di negeri kita sebagai sebuah kearifan lokal adalah halal bihalal. Sesungguhnya istilah halalbihalal itu tidak ada dalam sejarah kenabian dan salaf saleh, bahkan dalam bahasa Arab pun kurang pas.

Karena istilah itu hanya ada di nusantara dan penggagas istilah tersebut adalah K.H. Wahab Chasbullah. Ceritanya begini setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana.

Pada tahun 1948, yaitu di pertengahan bulan Ramadan, Bung Karno memanggil K.H. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.

“Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bihalal’”, jelas Kyai Wahab. (https://islami.co/asal-usul-dan-sejarah-halal-bi-halal/)

Sejak itulah istilah halal bihalal digunakan, padahal istilah itu tidak dikenal di kalangan pemerhati bahasa Arab.

So… Itu istilah saja, casing saja, yang penting isinya. Casing bisa menggunakan halalbihalal, Syawalan, atau istihlal. Istilah yang terakhir ini lebih pas secara bahasa. Namun yang penting tetap isinya.

Apa Isi Istihlal Atau Halal bihalal?

1. Bergembira dengan Idul Fitri

Dan hari ini semua orang berbahagia…
Hari ini semua orang berlebaran…
Tapi tidak semua orang di hari yang bergembira berhari raya Idulfitri, karena hari fitri hanya bagi mereka yang berpuasa.

Fitri itu artinya sarapan pagi, sebagai mana hadis;

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ :أَنْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلصَّوْمُ يَوْمُ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

Dari Abi Hurairah (ia berkata), Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fitri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah Ad-Daruquthni dan Baihaqi)

So… Idul Fitri itu adalah kembalinya kita semua untuk bisa sarapan lagi.

Kembalinya kita bisa berfitri lagi di hari raya ini, maka di samping kita senang dan bergembira karena dapat berfitri lagi, maka tetap harus waspada dan waspada! Kenapa demikian?

  • Karena di hari ini semua setan yang terbelenggu selama 30 hari, yang tidak dapat makanan selama itu, dengan kondisi seperti itu mereka buas dan liar untuk mencari mangsa.Inilah pertandingan sesungguhnya. Hari ini belum hari kemenangan kita, tapi hari ini semuanya dimulai untuk bisa meraih kemenangan. Dan kemenangan itu bukan di sini, tapi nanti ketika kaki kita menginjak surga-Nya. Itulah doa di setiap ketemu sesama muslim ada istilah minal aidin wal faaizin. Faizin inilah yang berarti orang yang menang, tapi kemengan itu di surga. Lihat surat Ali Imran 185.
  • Di dalam tubuh yang kenyang karena makannya di lebaran bebas dan kalap, maka setan menguat, karena itu waspadalah dalam mengontrol syahwat perut kita.Karena itu perlemah syetan dengan takbir dan takbiran. Karena makna Allahu Akbar begitu dahsyat. Inilah makna yang dalam tentang takbir “Allahu Akbar”.
2. Silaturrahim

Apa itu silaturrahim? Istilah silaturrahim (dalam bahasa hadis) maupun silaturrahmi (dalam bahasa Indonesia), kalau yang dimaksud adalah sama yaitu menjalin hubungan kekerabatan atau sanak keluarga, maka hal tersebut tidak perlu dipersoalkan. Berdasarkan kaidah ulama;

لا مشاحة فى الاصطلاح

“Tidak ada perdebatan dalam peristilahan (jika yang dimaksud sama)”

Kalau kembali ke istilah hadis, silaturrahim. Itu terbentuk dari dua kata; “silah” (hubungan), dan “rahim” (kekerabatan).

Rahim itu ada dua macam juga yaitu Rahim khusus (yaitu kekerabatan yang terkait nasab, seperti bapak, ibu, adik dll) dan Rahim umum, yaitu kekerabatan yang berdasar keimanan, “innamal mukminuna ikhwah”, sesungguhnya orang yang beriman itu adalah saudara. (QS. Al Hujurat 12-13)

So… Silaturrahim bisa bersifat khusus dan umum. Ini bisa siapa pun yang beriman seperti tetangga, teman dekat, teman kantor dsb.

Manfaat dan Keutamaan Silaturrahim

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim”. (Bukhari Muslim)

– Menambah rezeki termasuk di dalamnya menambah teman, kesehatan dan lainnya.
– Menambah umur, bisa lebih sehat, dan namanya selalu disebut sekalipun sudah tiada.

Adapun cara bersilaturrahim adalah dengan;
1. Saling mengunjungi
2. Saling memberi hadiah.
3. Saling berkirim pesan

Mohon Maaf Lahir Batin

Mohon maaf, ada dalilnya?

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ))

“Barang siapa yang punya salah kepada saudaranya baik terkait harga dirinya maupun lainnya, semestinya ia minta maaf kepadanya di hari itu”. (HR Bukhari Muslim)

Dan juga, permintaan qishas Nabi Muhammad kepada sahabat-sahabatnya.

Mohon maaf kenapa seolah dikhususkan saat Idul Fitri? Tidak harus di Idul Fitri, namun sunnahnya langsung ketika berbuat salah. Namun kalau karena suatu hal sehingga harus di Idul Fitri ya tidak mengapa.

Memberi maaf lebih berat. Memaafkan itu memang berat tapi kalau melihat hal di bawah ini insya Allah ringan untuk melangkah kesana,

1. Yakinilah semua orang bisa salah, termasuk kita yang mazlum

Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ. رواه ابن ماجه

“Setiap anak Adam sering melakukan dosa dan sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa adalah orang-orang yang bertaubat”. (HR. Ibnu Majah nomor 4251)

Maka jika Anda susah memaafkan orang, berempatilah jika Anda juga pada posisi itu.

2. Yakinilah, engkau akan tambah mulia bukan bertambah hina

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya”. (HR. Muslim)

3. Mendapat cinta-Nya

Jika ingin dicintai Allah maka memaafkan adalah jalan mendapatkan cinta-Nya. Coba perhatikan teguran sayang Allah kepada Abu Bakar yang bersumpah tidak memberikan lagi sedekah kepada saudaranya yang bernama Mistoh, gara-gara menuduh Aisyah selingkuh.

وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22)

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An Nur 22)

4. Pahala memaafkan langsung diurus Allah

Jika kita mudah memaafkan yang lain maka Allah yang menjamin pahalanya;

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”. (QS. Asy-Syura: 40)

5. Akan mendapatkan istana indah

Perhatikan sebuah riwayat tentang istana yang indah yang diperuntukkan bagi pemaaf.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه ُ، قَالَ: ” بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ ، إِذْ رَأَيْنَاهُ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ ثَنَايَاهُ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي؟
قَالَ: ( رَجُلَانِ مِنْ أُمَّتِي جَثَيَا بَيْنَ يَدَيْ رَبِّ الْعِزَّةِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: يَا رَبِّ خُذْ لِي مَظْلِمَتِي مِنْ أَخِي ، فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلطَّالِبِ: فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِأَخِيكِ وَلَمْ يَبْقَ مِنْ حَسَنَاتِهِ شَيْءٌ؟ قَالَ: يَا رَبِّ فَلْيَحْمِلْ مِنْ أَوْزَارِي ) ؟!
:قَالَ: وَفَاضَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبُكَاءِ ، ثُمَّ قَال: إِنَّ ذَاكَ الْيَوْمَ عَظِيمٌ ، يَحْتَاجُ النَّاسُ أَنْ يُحْمَلَ عَنْهُمْ مِنْ أَوْزَارِهِمْ ، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلطَّالِبِ : ارْفَعْ بَصَرَكَ فَانْظُرْ فِي الْجِنَانِ ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ ، فَقَالَ: يَا رَبِّ أَرَى مَدَائِنَ مِنْ ذَهَبٍ وَقُصُورًا مِنْ ذَهَبً مُكَلَّلَةً بِالُّلؤْلُؤِ ؛ لِأَيِّ نَبِيٍّ هَذَا ؟ أَوْ لِأَيِّ صِدِّيقٍ هَذَا ؟ أَوْ لِأَيِّ شَهِيدٍ هَذَا ؟ قَالَ: هَذَا لِمَنْ أَعْطَى الثَّمَنَ !! قَالَ: يَا رَبِّ وَمَنْ يَمْلِكُ ذَلِكَ ؟
قَالَ: أَنْتَ تَمْلِكُهُ ، قَالَ: بِمَاذَا؟ قَالَ: بِعَفْوِكَ عَنْ أَخِيكَ ، قَالَ: يَا رَبِّ فَإِنِّي قَدْ عَفَوْتُ عَنْهُ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: فَخُذْ بِيَدِ أَخِيكَ فَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: (اتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُصْلِحُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ)

Rasulullah tengah duduk-duduk santai dengan para sahabatnya. Di tengah-tengah perbincangan santai itu, tiba-tiba Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi-gigi putihnya yang rapi.

Melihat kejadian itu, Umar ra bertanya, “Demi Engkau, Ayah dan Ibuku sebagai tebusannya, apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”

“Aku diberi tahu bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang bersimpuh di hadapan Allah sambil menundukkan kepala. Salah satunya mengadukan ihwalnya kepada Allah, ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan orang ini untukku, karena dulu di dunia ia pernah berbuat zalim padaku’.”

Mendengar aduannya itu, Allah berfirman, “Mana mungkin saudaramu bisa melakukan ini, karena tidak ada sedikit pun kebaikan di dalam dirinya?”

“Kalau begitu ya Rabb, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya,” kata si pengadu.

Sampai di sini, mata Rasulullah terlihat berkaca-kaca. Beliau tidak mampu menahan tangis, dan lalu air matanya tumpah.

Beliau, Rasulullah, berkata, “Hari itu hari yang begitu mencekam, dimana setiap manusia ingin agar dosa-dosanya dipikul orang lain.”

Kemudian, Rasulullah saw. melanjutkan kisahnya, Allah meminta kepada orang yang mengadu itu, “Angkat kepalamu…!”

Orang itu mengangkat kepalanya, dan mengatakan, “Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana megah terbuat dari emas, dan di dalam istana itu singgasananya terbuat dari emas bertatahkan berlian.

Istana-istana untuk para Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang jujur yang mana, ya Rabb? Sedang untuk para syuhada yang mana, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Istana-istana itu disediakan bagi siapa saja yang mampu membayar harganya.”

Orang itu lalu bertanya, “Siapakah orang yang mampu membayar harganya itu, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Engkau pun mampu membayar harganya.”

Orang itu terheran-heran, sambil berkata, “Dengan cara apa aku bisa membayarnya, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Caranya dengan engkau memaafkan kesalahan saudaramu yang duduk di sebelahmu itu, yang telah engkau adukan kezalimannya kepada-Ku.”

Orang itu berkata, “Ya Rabb, baiklah aku maafkan kesalahannya.”

Allah berfirman, “Kalau begitu, pegang tangan saudaramu itu, dan ajak dia masuk surga bersamamu.”

Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah bersabda,

“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya kalian saling berdamai, sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.”

Kisah di atas terdapat dalam hadits yang diriwayatkan al-Hakim, dalam Al Mustdrak nya, Ibn Asakir dalam Mu’jamnya. Wallahu A’lam

*Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya dalam program Dialog Motivasi Al Quran, Kamis 28 Juni 2018 pukul 05:30 – 06:30 WIB

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment