Suaramuslim.net – “Gelar doktor kehormatan Doctor Honoris Causa adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu Perguruan Tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.” Begitu bunyi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1980 Bab I, Pasal 1, Tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa).
Pada umumnya, doktor honoris causa alias doktor kehormatan di Indonesia diberikan ke pengusaha dan tokoh politik (pejabat). Penganugerahan kepada sastrawan bisa dihitung dengan jari. Setahu saya, Bapak Ajib Rosidi dianugerahi Doktor Kehormatan bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran dan Penulis “Laskar Pelangi” Andrea Hirata yang dianugerahi Doktor Kehormatan bidang Sastra dari University of Warwick, Inggris (Republika online, 15 Juli 2015).
Di kalangan pengusaha, ada nama Ibnu Sutowo dan Chairul Tanjung (bos CT Corp) yang diketahui mendapat doktor kehormatan dari Unair, Surabaya. Dalam buku Ciputra: The Entrepreneur karangan Alberthiene Endah, pada tahun 2008, Ciputra mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Tarumanegara.
Untuk tokoh politik, almamater saya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pernah menghadiahi doktor kehormatan kepada Suryadharma Ali (kini terpidana kasus korupsi). Saya tidak mengetahui apa saja sumbangsih dan prestasi luar biasa yang telah diukir oleh Suryadharma Ali. Kemudian tak turut ketinggalan UIN Sunan Ampel Surabaya yang menghadiahi doktor kehormatan kepada Menpora Imam Nachrawi.
Yang menyita perhatian saya adalah ibu dari Menko PMK Puan Maharani. Pada tahun 2016, mendapat doktor kehormatan di bidang politik dan pemerintahan dari Unpad, Bandung. Tahun berikutnya, Megawati Soekarnoputri mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Padang.
Bulan ini, Megawati mendapat tambahan gelar doktor kehormatan di bidang diplomasi ekonomi dari Fujian Normal University. Kampus yang didirikan tahun 1953 itu menempati ranking ke 81 dari 103 kampus yang eksis di Republik Rakyat Cina.
Gelar yang diterimanya itu menjadi sebuah pesan moral tersendiri. “Sebuah pesan untuk melengkapi tugas sejarah para pendiri bangsa kita. Ini menjadi tugas sejarah yang harus kita selesaikan,” kata Megawati dalam orasi ilmiahnya, seperti diberitakan situs Liputan 6. Entah berapa banyak Megawati mengoleksi gelar doktor kehormatan. Sementara rakyat mengingatnya sebagai presiden “penjual aset negara” seperti gas tangguh ke Cina, saham Indosat dan Telkom ke Singapura.
Dalam lembaran sejarah negeri ini, ayahanda Buya Hamka yang dikenal sebagai Haji Rasul, Abu Hanifah, Buya Hamka, Rachma el-Yunusiyah dan KH Idham Chalid mendapat gelar doktor kehormatan dalam bidang Islamic studies.
Bung Karno alias bapaknya Megawati yang beda sendiri. Beliau mendapat doktor kehormatan di bidang ilmu filsafat. Gelar doktor kehormatan yang terakhir didapat dari Universitas Muhammadiyah Jakarta di bidang Falsafah Ilmu Tauhid. Uniknya, tiap kali dihadiahi doktor kehormatan itu, Bung Karno selalu bertanya, apakah dirinya pantas diberi kehormatan sebesar itu. Berbeda dengan tokoh politik sekarang yang tidak pernah menanyakan kenapa dirinya pantas atau tidak dianugerahi gelar kehormatan itu.
Sesungguhnya tokoh politik atau pejabat tak butuh gelar doktor kehormatan. Yang dia butuhkan adalah “jam terbang berpolitik”, saya pinjam istilah ini dari Dr Sulardi, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unmuh Malang (lihat harian Jawapos edisi 15 Oktober 2017). Sebanyak apapun gelar doktor kehormatan yang ia miliki, belum tentu membuat segan kawan maupun lawan politik. Kemudian yang paling penting adalah sejauh mana ia bisa menjaga kesalihannya. Apalah arti doktor kehormatan apabila reputasinya ternoda karena kasus korupsi, gemar main perempuan dan menjadi penjual aset negara. Wallahu’allam.
Kontributor: Fadh Achmad Arifan
Editor: Muhammad Nashir