Suaramuslim.net – Dosa curang pemilu berkaitan dengan banyak hak. Haknya Allah. Haknya Nabi Muhammad. Haknya negara dan haknya seluruh rakyat Indonesia.
Setiap sesuatu punya miqat sebagai perkara yang ditahbiskan; negara punya perbatasan. Agama punya halal-haram. Tanah milik punya batas area. Hadis halal-haram menyebutnya “hawla al-himaa” (حول الحمى).
Masjid punya batas suci. Selop kaki siapa pun atau merek apapun dilepas, di batas suci masjid. Semua jemaah haji/umrah membersihkan diri dengan mandi dan bersuci, di masjid Miqat, sebelum masuk tanah suci Makkah. Bahkan berganti pakaian bawaan tanah air dengan pakaian khas “kain ihram” yang serba putih. Demikian halnya dengan memasuki bulan suci Ramadhan.
Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah minta melepaskan selop kakinya ketika bertemu Allah di Wadi Muqaddas. Sandal Musa terbuat dari kulit keledai yang belum disamak (Thaha: 12; al-Nazi’at:16).
Dada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dibedah sebelum bertemu Allah untuk disucikan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Sabda Nabi (saw): “….. Hatiku dikeluarkan dan dibersihkan dengan air Zam-zam, kemudian diletakkan kembali di tempat asal. Setelah itu diisi dengan iman dan hikmah…” (Shahih Muslim).
Dari keterangan ini, maka memasuki Ramadhan 1440/2019 ini, pun demikian. Membawa kecurangan masuk Ramadhan, bisa menjadi duri dalam daging atau seperti air diminum tapi rasa duri, nasi dimakan rasa sekam. Efek dari dosa yang belum ditaubati atau dimagfirahi oleh Allah Jalla Jalaluh.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ، ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
“Rasulullah bersabda: “celakalah mereka yang masuk Ramadhan, sampai Ramadhan habis; dosa-dosanya tak Allah ampuni.” Shahih Muslim (2551).
Memasuki Ramadhan 2019 ini, tampaknya belum ada tanda-tanda. Tanda pengakuan maaf secara terbuka ke publik NKRI bahwa yang bersangkutan telah berbuat kecurangan. Membohongi rakyat Indonesia. Mengkhianati demokrasi.
Sangat beralasan jika Ustaz Haikal Hassan mengusulkan pada Forum Ijtima’ Ulama III sowan ke cawapres KH Ma’ruf Amin untuk berbicara terkait dengan kecurangan pemilu.
“Kan tujuan pemilu kita jujur dan adil, tapi kecurangan di mana-mana. Kiai Ma’ruf sebagai ulama besar yang paham ilmu fikih dan agama silakan merenung melihat kecurangan ini. Apakah beliau sebagai ulama besar masih mau memimpin Indonesia jika diterima dengan cara curang?” Seloroh Ustaz Haikal.
Kecurangan Pemilu 2019 bukan dosa biasa. Kecurangan Pemilu masuk lingkup ekspansi makna kaba’irnya kaba’ir, munafiknya kemunafikan, kufurnya kekafiran. Najisnya najis.
Karena pelakunya menggunakan fasilitas negara. Atas nama negara mencurangi rakyatnya sendiri.
Isteri yang berkhianat tak bisa cium bau surga. Padahal aroma surga sudah tercium dari jarak perjalanan 70 tahun. Padahal yang dikhianatinya cuma satu; suaminya sendiri. Bagaimana halnya dengan pengkhianat bangsa. Mencurangi rakyatnya sendiri yang telah “mengangkatnya” lewat suara dengan memakai uang rakyat, keringat buruh, pajak masyarakat, dan seterusnya.
Literatur Siyasat Syar’iyah melaporkan, bahwa prajurit yang berkhianat, selain tak dapat jatah bagian ghanimah juga mendapat hukuman diskualifikasi, yaitu tidak boleh ikut jihad lagi. Hak-haknya sebagai warga negara dicopot. Mendapatkan murka seluruh anak bangsa. Rujuklah Tafsir surah Al-Anfal: 16 dan penjelasan ahli Ilmu di bab ini.
وَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“….Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: ayat 129).
Rumah tangga sebagai institusi milenial terkecil sebuah negara, akan ambruk dengan sendirinya jika salah satu pasangan pasutri tersebut berbuat curang. Maka isteri yang curang harus taubat nasuha kepada Allah. Jika suaminya maafkan, ia boleh berkumpul lagi. Dan itu hukumnya bergantung dari permakluman suaminya, tulis Imam Al-Qurthubi (rahimahullah) dalam Tafsirnya.
Ciri Utama Raja Tidak Curang
Sementara itu, ciri utama seorang Raja, sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi antara lain pada jejak moralnya –moral footprint– dalam hal ini tidak curang.
Dialog segitiga di hijrah Habasyah (II) antara Kaisar Agung Bizantium “Heraklius” (memerintah: 610-641M) dengan Abu Sufyan-Ja’far bin Abu Thalib al-Thayyar, melalui jasa translator ulung Dihyah al-Kalbi di bulan Muharram 6 H.
Sang Raja Agung Bizantium bertanya kepada Abu Sufyan, penguasa Makkah, kaum Jahiliyah, masa itu.
Heraklius: “Apakah kalian pernah mendapati dia (Muhammad) berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya itu?”
Abu Sufyan: “Tidak pernah.”
Heraklius: ‘Apakah dia pernah berlaku curang?”
Abu Sufyan: “Tidak pernah. Selama kami bergaul dengannya, dia tidak pernah mencurangi kami.”
Abu Sufyan: “Aku tidak mungkin menyampaikan selain ucapan seperti ini.” (Shahih Bukhari (2940, 4553); Shahih Muslim (1773).
Rumah tangga yang curang berakhir dengan talak. Prajurit yang berkhianat, dicopot pangkatnya. Hak-hak kewarganegaraannya hilang. Fuqaha’ Madinah pimpinan Sa’id bin Musayyab (rahimahullah) pernah keluarkan fatwa tegas di zaman terjadinya perpecahan yang berakhir pada terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Zulhijjah tahun 35 H, untuk tidak memberi salam, menjenguk, melawat dan mengurusi jenazah para pengkhianat di zaman itu.
Alaa Kulli Hall, semuanya kembali pada tawaran rekonsiliasi dan penegakan sanksi atas pelaku tindak kecurangan. Nabi Adam, Allah Ta’ala maafkan. Tapi sanksi tetap jalan. Jemaah haji/umrah melanggar larangan ihram, harus bayar dam, sebagai kompensasi tindak pelanggaran mahzhurat ihram.
Ternyata, maaf pada dosa tertentu, tidak gratis. Mentang-mentang dimaafkan lalu dosa dan kesalahannya dilupakan. Tidak demikian ternyata, apalagi dosa curang pemilu berkaitan dengan banyak hak. Haknya Allah. Haknya Nabi Muhammad. Haknya Negara dan haknya seluruh rakyat Indonesia.*
Penulis: Sudarno Hadi – Ketua DDII Jawa Timur
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net