Suaramuslim.net – Suatu saat di sebuah majelis ilmu ada yang menginfokan tentang ketidakhadiran seorang jamaah di majelis itu. Ketika sang ustaz bertanya perihal alasannya tidak hadir, maka yang menyampaikan info menjelaskan bahwa orang itu hanya yakin dan mengamalkan ajaran dari Al-Qur’an saja. Karena hadis atau sunnah itu tulisan manusia sedangkan Al-Qur’an dari Allah.
Sang ustaz dengan heran bertanya, apakah Al-Qur’an itu ditulis Allah?
Ustaz melanjutkan, sesungguhnya Al-Qur’an itu tidak ditulis Allah tapi ditulis oleh para katib (sekretaris Nabi) yang bertugas menulis wahyu.
Sekelumit kisah di atas, menunjukkan ketidakpahaman seseorang itu berkaitan kedudukan Rasulullah, dalam hal ini sunnah atau hadis dalam syariat Islam.
Coba kita gali spirit dan motivasi dari ayat-ayat Allah di bawah ini.
قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡكَٰفِرِينَ
“Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32).
Coba bandingkan dengan ayat ini.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59).
Ayat pertama di Ali Imran 32 tidak disebutkan kalimat perintah ‘taat’ kepada Nabi, berbeda dengan ayat 59 di surat An-Nisa, di sana perintah ‘taat’ kepada Nabi disebutkan.
Hal ini dipahami oleh pakar tafsir jika perintah taat itu hanya disebut sekali (Ali Imran 32), mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintah Allah baik perintah langsung dalam Al-Qur’an atau perintah itu dijelaskan oleh Nabi Muhammad melalui hadis beliau yang bersumber dari perintah Allah di Al-Qur’an.
Adapun jika perintah taat itu berulang seperti di An-Nisa 59, maka dalam hal ini Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memiliki hak untuk ditaati meskipun perintahnya tidak ada dalam Al-Qur’an.
Baca juga Firman-Nya dalam surat Al-Hasyr ayat 7.
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Banyak ayat lainnya yang memiliki makna senada. Manusia yang beriman kepada Allah juga diminta beriman, patuh dan mengikuti Nabi-Nya, yaitu Nabi Muhammad.
Apalagi Nabi Muhammad telah memerintahkan juga kepada umatnya untuk mengikutinya di samping mengikuti Allah.
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selamanya selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul (al-hadis).” (Riwayat Al-Hakim).
So… Sungguh akan naif dan merugi bagi seorang muslim yang hanya taat kepada Al-Qur’an tanpa taat kepada Rasulullah (hadis). Karena jika hal itu terjadi maka bisa dibayangkan ia hanya bisa beramal syariat Islam sekitar 40 % saja. Sebab 60% semua dasar syariatnya dari hadis Nabi Muhammad.
Kedudukan hadis dalam syariat Islam
Mari kita lihat sedikit ringkasan yang dikumpulkan dari tulisan para ulama, di antaranya dalam kitab Al Minhalul Lathif fi Ushuli Al Hadis Asy Syarif, karya Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani.
1. Posisi hadis adalah menguatkan hal yang disebutkan dalam Al-Qur’an
Seperti hadis-hadis yang mewajibkan shalat, zakat, haji dan lain sebagainya itu semuanya menguatkan apa yang sudah disebutkan dalam Al-Qur’an.
2. Posisi hadis memberikan penjelasan (bayan) dari apa yang dimaksud Al-Qur’an
Dalah hal ini posisi hadis dibagi empat, yaitu:
a. Bayan al-mujmal, memberikan perincian dari ayat Al-Qur’an yang bersifat mujmal (global). Seperti semua yang terkait hukum ibadah misalnya tata caranya, syarat-syaratnya, waktu, jumlah rakaat, rukun dan lainnya.
b. Taqyidul mutlaq, posisi hadis memberikan batasan dari yang mutlak. Seperti ayat yang memerintahkan hukum potong tangan bagi pencuri.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (Al-Maidah: 38).
Di sini hanya disebutkan potong tangannya. Kemudian datanglah hadis Nabi yang memberikan penjelasan yang bersifat pembatasan bahwa yang dipotong itu adalah pergelangannya.
“Rasulullah didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.”
c. Takhsisul ‘aam, membuat lebih spesifik ayat yang sifatnya umum.
Misal di surat Al An’am ayat 82, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Di situ disebutkan kalimat zulm (kezaliman secara umum) para sahabat pun awalnya memahami kezaliman secara umum sehingga mereka merasa keberatan karena tidak mungkin hati itu bersih dari kezaliman. Akhirnya Nabi memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan zulm itu adalah kesyirikan.
d. Menjelaskan kalimat yang susah dipahami (musykil).
Seperti hadis yang menjelaskan tentang benang putih dan benang merah dalam surat Al-Baqarah 187.
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Dipahami oleh sebagian sahabat sebagai tali putih dan hitam. Kemudian Nabi memberikan penjelasan, “Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari.” (Riwayat Al-Bukhari).
3. Posisi hadis memberikan penjelasan hukum yang tidak disebut dalam Al-Qur’an
Seperti kewajiban zakat fithri (fitrah) yang tidak disebut dalam Al-Qur’an, maka Nabi mewajibkannya.
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (Riwayat Muslim).
Demikian pula tidak boleh mengumpulkan bibi sama keponakannya dalam satu pernikahan karena yang dilarang di Al-Qur’an mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam pernikahan di waktu yang sama (Q.S. An Nisa 23) dan lainnya.
4. Posisi hadis mengganti hukum yang disebut di Al-Qur’an (naskh)
Ini bagi yang setuju bahwa hadis dapat menghapus hukum yang ada di Al-Qur’an. Contoh ada hadis riwayat Ad-Daru Qutni.
لاَوَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadis ini menurut sebagian ulama menasakh (menghapus hukum) dalam surat Al-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
So… Ketaatan kepada Allah dengan mengikuti Al-Qur’an membuat juga taat kepada Rasulullah dengan mengikuti hadis-hadisnya.
Mungkin yang menjadi masalah bagi mereka yang ingkar sunnah, adalah ketidakpercayaan terhadap hadis-hadis tersebut apakah ia sahih dari Nabi Muhammad atau itu hadis palsu yang diatasnamakan riwayat dari beliau.
Kedudukan hukum hadis sahih dan dhaif
- Memang hadis-hadis itu terbagi menjadi tiga macam kalau dilihat dari aspek perawi yaitu hadis sahih, hasan dan dhaif. Adapun hadis palsu tidak disebut sebagai hadis dari Nabi.
- Namun ada kaidah dari ulama ahli hadis bahwa untuk yang berkaitan dengan hukum syariat, baik itu ibadah, muamalat, jinayat apalagi akidah harus menggunakan hadis sahih atau hasan.
- Adapun terkait dengan motivasi supaya bersemangat dalam berbuat kebaikan, maka dibolehkan oleh mayoritas ulama menggunakan hadis dhaif dengan catatan tidak terlalu lemah.
- Para ulama sudah berusaha menulis hadis-hadis itu sejak sahabat Nabi Muhammad yaitu yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr, Abu Syah dan Ali bin Abi Thalib. Akhirnya diteruskan oleh Umar bin Abdul Aziz, pada abad 2 H (717-720 M) dengan memerintahkan ulama terkemuka saat itu yang bernama Muhammad bin Syihab Az Zuhri untuk mengumpulkan dan menulis hadis Nabi Muhammad dari sahabat-sahabatnya.
Akhirnya terjadi kodifikasi hadis yang pertama dilakukan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththo’.
Pada abad ketiga Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh pakar hadis yang memprakarsai pembukuan hadis di antaranya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194-256 H).
Beliau meneliti dengan saksama sekitar 600.000 hadis. Hasilnya yang benar benar sahih menurut standarnya adalah 7.397 hadis (dengan pengulangan). Lalu dikumpulkan dalam kitabnya yang terkenal Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Bukhari.
Demikian pula pembukuan hadis yang dilakukan oleh Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim yang dikenal dengan Imam Muslim memiliki kitab yang terkenal dengan nama Ash Shahih Muslim. Diperkirakan ada 4.000 hadis sahih di dalamnya.
Itu sekadar contoh saja, betapa ulama yang pakar di bidang hadis telah bersusah payah mengkompilasi hadis-hadis Nabi Muhammad, maka tidak ada alasan bagi kita generasi Z ini untuk mengingkari hadis Nabi.
Efeknya kalau sampai ingkar terhadap hadis Nabi Muhammad berakibat tidak sempurnanya pengamalan syariat dan pada akhirnya berujung kepada gaya hidup yang agnostik, yaitu gaya hidup yang seolah beragama namun tidak mau bersyariat dan bertuhan sekalipun tidak mau disebut atheis.
Wallahu A’lam.