JAKARTA (Suaramuslim.net) – Prof. Din Syamsuddin menanggapi respons terhadap imbauannya agar semua pihak tidak mengembangkan isu bernuansa keagamaan terkait Pilpres 2019, khususnya dari KH Hamdan Rasyid (NU/MUI DKI Jakarta) dan Dr Nadirsyah Hosen (Ketua PCINU Australia).
“Saya mengucapkan terima kasih atas nasihat mereka agar saya belajar dan mendalami bahasa Arab, agar jangan sesat dan menyesatkan, serta tidak gagal paham tentang konsep khilafah,” ujar Din pada Senin (1/4/19).
“Memang saya mengakui pengetahuan saya tentang bahasa Arab sangat minim, walaupun merasa sudah belajar sejak Madrasah Ibtidaiyah, di (Pondok) Gontor, UIN, hingga S2 dan S3 yang ada seminar dengan menggunakan bahasa Arab di UCLA dulu. Oleh karena itu saya ingin berguru kepada Ust KH Hamdan Rasyid yang pengetahuan Bahasa Arabnya tinggi dan dalam,” lanjutnya.
Untuk itu, lanjut Din, ia ingin menguji pemahamannya tentang konsep Alquran, khususnya tentang khalifah dan khilafah.
“Yang disebut oleh Alquran memang hanya kata khalifah, tidak ada penyebutan kata khilafah. Namun, karena yang kedua adalah bentuk derivatif (turunan) dari yang pertama (fa’il dan fi’alah/noun dan verbal noun), maka secara substansial khilafah juga dikandung oleh Alquran,” jelas Presiden Asian Conference on Religions for Peace ini.
“Tentu ini merupakan kesimpulan kaum substantivis, yang mungkin tidak diterima oleh kaum tekstualis. Sama halnya polemik tentang ‘aradh dan jauhar’ di kalangan mutakallimun mauupun falasifah, sebagaimana antara lain dibahas dalam Kitab Ushul al-Din karya Al-Baqillani, salah seorang ulama Sunni terkemuka,” tambah Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat ini.
Ini pulalah, imbuh Din, yang kemudian diadopsi oleh pakar hukum Islam seperti Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah yang pada baris pertama sudah menyebut khilafah dalam konteks khilafat al-Nubuwwah. Al-Mawardi tentu merujuk kepada konsep khilafah sejak Umawiyyyah hingga Abbasiyyah.
Khilafah sebagai lembaga politik selama itu berada di tangan para khalifah. Dari sinilah mulai muncul ‘alaqah ma’nawiyah’ (hubungan secara maknawi) bahkan tasyaqquq ma’nawi antara kedua istilah yang saling berkelit berkelindan, atau menurut Imam Al-Ghazali dalam bahas Persia disebut az yik modar omad.
“Saya cukupkan sketsa pemahaman awam saya di sini dan dapat dikembangkan dengan membuka kitab para mutakallimun, fukaha, dan falasifah tentang tema ini,” pungkasnya.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir