Suaramuslim.net – Terkadang ketika melintasi daerah Pandaan untuk menuju Surabaya, di sebelah kiri jalan yang dilalui pengendara roda dua akan terlihat masjid bercat merah, atapnya seperti klenteng dan bergaya arsitektur Cina. Itulah masjid Muhammad Cheng Ho. Selain di Pandaan, masjid dengan nama yang sama berdiri di Surabaya dan Palembang. Sebatas informasi yang bisa saya dapatkan, Masjid cheng Ho di Surabaya di bangun pada 2001, sedangkan yang di Palembang pada 2003 dan pembangunan di Pandaan di mulai pada 2004.
Nama Cheng Ho bagi generasi milenial terasa asing. Padahal kalau mau membuka buku-buku sejarah atau sekadar berselancar di dunia maya, beliau adalah tokoh yang luar biasa. Cheng Ho berasal dari suku minoritas di Cina bernama Suku Hui. Nama asli Cheng Ho ialah Ma Hou. Marga Ma merupakan sebuah nama keluarga khusus di antara orang-orang Islam yang mirip dengan suku kata pertama dari nama Muhammad. Ayah dan kakek Cheng Ho disebutkan sebagai orang Ha-Tche.
Istilah Ha-Tche merupakan salinan kata “haji” (Koran Republika “Islam Cheng Ho” 18 juni 2012). Sebelum diangkat menjadi Laksmana, Cheng Ho dulunya adalah seorang Kasim yang menjadi kepercayaan Kaisar Yongle.
Cheng Ho melakukan pelayaran atau muhibbah ke negara-negara tetangga dengan armada besar, di mana terdiri dari 4 divisi yaitu: divisi komando, divisi navigasi, divisi kemiliteran dan divisi yang menangani logistic (Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, 2000). Sebagian besar awak kapalnya non muslim yang beragama Tao dan Budha, meski begitu beliau tidak pernah melarang anak buahnya melakukan ritual agamanya. Dalam rentang waktu 28 tahun, Cheng Ho melakukan 7 kali misi pelayaran serta telah mengunjungi sekitar 40 negeri. Salah satu daerah atau negeri yang disinggahi adalah nusantara.
Wilayah nusantara yang disinggahi adalah Semarang. Sebelum kedatangan Cheng Ho ke Semarang, sejak 921 masehi telah bermukim orang-orang Cina yang berhijrah ke tanah Jawa (Koran Republika, “Keluar dari Misi Sang Kaisar” edisi 18 Juni 2012). Ia mendarat ke Semarang pada 1416 M, ini berarti pada misi pelayaran muhibbah yang ke 5. Tapi terdapat versi lain yang mengatakan beliau ke kota lumpia itu pada 1430 M bertepatan pada masa pemerintahan Kaisar Xuang De (Leo Suryadinata, 2005).
Ketika di Nusantara, beliau melakukan dakwah dengan cara damai. Misalnya selalu mencontohkan dengan perbuatan sehari-hari. Jadi, syariat Islam dipraktikkan langsung dalam bentuk amalan ibadah sehari-hari (Islam Nusantara Kompas TV edisi khusus Imlek “Laksmana Cheng Ho”).
Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, Cheng Ho mempunyai seorang sahabat bernama Kiai Juru Mudi. Konon sahabatnya ini diyakini menetap di Semarang hingga akhir hayatnya. Kiai Juru Mudi punya nama asli Ong King Hong. Seperti Cheng Ho, beliau juga melakukan dakwah kepada penduduk pribumi dan orang Cina yang menjadi pengikutnya. Kiai Juru Mudi meninggal di usia 87 tahun dan jenazahnya dimakamkan secara Islam (Koran Republika, “Buang Sauh di Kali Garang”18 Juni 2012).
Ada kalanya nama besar Cheng Ho membuat orang-orang Tionghoa membangun kelenteng. Misal pada kelenteng-kelenteng di kota Semarang, Cheng Ho dipuja sebagai Dewa oleh warga Tionghoa. Cukup banyak berdiri patung-patung Cheng Ho. Penghormatan mereka terhadap Cheng Ho bentuknya tidak memberi sesaji berupa makanan-makanan yang diharamkan dalam ajaran Islam (Koran Republika, “Puja Sang Laksmana” 18 Juni 2012).
Demikian salah satu cuplikan jejak laksmana Cheng Ho di Nusantara. Semoga bisa menjadi inspirasi generasi milenial, di mana ketika melakukan perjalanan jauh, hendaknya mereka menebarkan rahmat, sikap peduli dan kesan yang baik bagi orang-orang sekitarnya. Wallahu a’lam bishowab.