Jumat Horor di Selandia

Jumat Horor di Selandia

Seorang Karyawan di Dubai Dipecat Karena Rayakan Aksi Teroris Selandia Baru
Para petugas ambulan membawa keluar seorang pria dari sebuah masjid di pusat Kota Christchurch, Selandia Baru, 15 Maret 2019. (Foto: Istimewa)

Suaramuslim.net – Global Peace Index selalu menempatkan Selandia Baru dalam posisi atas. Sejak 2008, posisi negeri kiwi ini hanya paling ‘jelek’ berada di peringkat empat, yakni pada 2014 hingga 2016. Pada 2012 dan 2013, mereka berada di urutan ketiga. Sisanya, mereka menyandang runner up, seperti dua tahun terakhir ini.

Dengan peringkat yang meyakinkan dari sisi keamanan ini, menjadi kabar amat mengejutkan tatkala Jumat yang teduh bagi umat Islam di sana justru jadi horor yang tidak terbayangkan. Teror penembakan warga kulit putih kepada Muslimin yang tengah menunaikan salat Jumat bak permainan simulasi yang biasa dicandui sebagian orang. Dengan dingin dan tahu betul apa yang dikerjakannya, pelaku bahkan merekam tindakan brutal dan sadisnya membantai jemaah yang tengah khusyuk itu.

Ditayangkannya oleh si pelaku dalam Facebook Live menjadi satu tamparan yang mengenaskan rasa kemanusiaan siapa saja. Ia seperti memperlihatkan kebanggaan pada sikap anomali dari kebanyakan warga di negerinya yang sudah berjuang menempatkan sebagai tempat aman di dunia.

Tidak kurang 50 jiwa lenyap, dan sebagian di antaranya warga Indonesia, jelas tidak punya sengkarut dengan pelaku. Tapi, tragedi di Masjid Al Noor, dan di di Linwood (keduanya berada di kawasan Christchurch, Selandia Baru) itu mengoyak kepercayaan tentang senantiasanya ada kebencian pada umat Islam, atau bahkan Islam itu sendiri, dari mereka yang belum mantap pada pesan damai yang dihadirkan Muslimin.

Upaya baik pemerintah untuk merangkul semua elemen warga, termasuk Muslimin, seperti aral untuk mewujudkan kecemasan yang berwaktu-waktu dihadirkan di pikiran pelaku. Arus kedamaian yang digencarkan pemerintah setempat tampaknya masih ada yang menerimanya dengan sikap berbeda. Mereka tetap memercayai informasi yang menempatkan umat Islam ada sekumpulan manusia jahat yang harus dienyahkan. Tak peduli bagaimana cara yang ditempuh, asalkan kecemasan itu harus dituntaskan.

Diseminasi ketakutan bernama fobia pada Islam, diakui atau tidak, belumlah sepenuhnya hilang pada banyak kalangan. Seramah apa pun pemerintah sudah negara, tetap saja ada potensi warganya yang bertindak brutal untuk mewujudkan satu solusi yang dianggapnya efektif dan ampuh dalam mengobati kecemasan diri.

Produksi informasi yang buruk tentang Islam menebalkan rasa benci akut pada umat Islam. Nilai-nilai Islam selalu dipandang buruk dan nyaris tidak ada ruang untuk memandang lapang. Kata toleransi begitu asing dan aneh. Pada kalangan seperti pelaku tragedi Jumat di Selandia Baru, mereka melakukannya seolah bak pahlawan bangsa. Syukurnya, dalam kejadian ini, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengutuk aksinya, yang disebutnya—mengutip pemberitaan CNN—sebentuk terorisme.

Pemihakan jelas pemerintah berkuasa pada korban, yakni umat Islam, menjadi penting agar warga yang mengidap fobia terimpit untuk tidak mereplikasi aksinya. Harus diakui, sekuat apa pun pembelaan penguasa setempat, militansi kaum fobia Islam itu tidak bisa dihilangkan sama sekali.

Minimal dengan adanya aksi mengutuk keras, dan terpenting lagi penindakan tegas tanpa diskriminasi (baca: bias rasis), maka ini modal mempertahankan kepercayaan dari elemen di negara tersebut. Amatlah merugi bagi Selandia Baru dengan adanya tindakan brutal itu. Satu kepercayaan bisa rontok, terutama dari negara-negara berpenduduk Muslim mayoritas.

Tentu saja, reaksi pemerintah setempat tidak semata mengecam lantas tidak ada tindakan untuk mencegah diseminasi informasi menyesatkan seputar Islam. Di sinilah arti penting hadirnya negara-negara berpenduduk Islam mayoritas, semisal Indonesia, untuk menekankan kepahaman soal Islam. Bukan semata demi menjaga warga negara kita di sana, tetapi ini satu sikap konsisten menjunjung perlakuan tanpa diskriminasi. Bukankah fobia yang masih saja ada pada umat Islam merupakan satu PR bagi penguasa negara Islam mana pun?

Rasanya kita di sini perlu mendorong pemerintah Jakarta untuk melakukan proses yang panjang selepas upaya mendata dan membantu warga kita yang jadi korban bahkan wafat dalam tragedi Jumat. Proses panjang itu adalah memberikan satu informasi yang objektif tentang umat Islam di tanah air, yang jauh dari sangkaan-sangkaan bias ala media asing. Sangkaan semacam ini mengakumulasi menjadi satu informasi yang disebarluaskan dan dimantapkan oleh kalangan fanatik sebagaimana pelaku tragedi Jumat di Selandia Baru.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment