Kafa’ah: antara Teori dan Realita

Kafa’ah: antara Teori dan Realita

Suaramuslim.net – “Dalam mencari pasangan hidup (suami-istri), benarkah dia menerima Anda apa adanya? bukan karena fisik, harta, dan status sosial? Benarkah mau hidup dengan Anda tanpa aneka pertimbangan di atas atau dia hidup dengan Anda karena harta, keturunan ningrat/bangsawan, rupa fisik, dll?” itulah lontaran pertanyaan kolega saya di STAI al-Qodiri di Jember, Jawa timur.

Sebetulnya tiap orang yang mencintai bahkan menikahi kekasihnya karena ada alasannya. tidak ada di dunia ini “cinta tanpa alasan”. Saat membuat skripsi, tesis dan disertasi saja pasti ditanyai alasannya. Mengapa memilih judul begini, bagaimana rumusan masalahnya, metodologi dan pendekatannya.

Agama, rupa fisik, harta, nasab, dan lainnya ini terkait erat dengan kafa’ah (kesepadanan atau kesetaraan). Ahli fiqh dari mazhab Maliki berpendapat, kafa’ah yang disyaratkan terkait dengan agama, kemerdekaan, tidak adanya cacat dan cela. Adapun mazhab Hanafi cukup nasab dan agama saja.

Tentang nasab atau hal hal yang berbau keningratan, perlu memperhatikan seruan Rasulullah Saw, “Orang Arab tidak lebih utama dari non Arab kecuali dengan ketakwaan”. Di Indonesia, masih ada tradisi komunitas Arab yang melarang pernikahan putrinya dengan non Arab, alasannya sang putri nasabnya masih bersambung ke Rasul. Aneh sekali, Rasulullah Saw sendiri hanya punya Siti Fatimah yang dari beliau inilah lahir Hasan dan Husein. Beliau berdua tidak bisa disebut keturunan Rasulullah Saw, melainkan keturunannya khalifah Ali. Karena nasab dalam Islam mengacu pada laki-laki, kalau mengacu ke perempuan itu nasab ala bangsa Yahudi. Di Jakarta, tradisi kolot ini sudah memudar, banyak gadis Arab yang menikah dengan non Arab. Contoh Fauziah Syahab (presenter acara Beriman) dengan Prabu revolusi (mantan presenter Metro TV).

Sementara mazhab Hanbali berpendapat, suami-istri harus sepadan dalam 5 hal, yakni agama, nasab, kemerdekaan, profesi dan kekayaan. Bagi orang tua yang seleranya menikahkan berdasar profesi, misalnya dokter dengan dokter, pedagang dengan pedagang bahkan anak tentara dengan sesama anak tentara, lumrah saja. Berarti mereka mengamalkan pendapatnya mazhab hanbali.

Beralih ke Mazhab Syafi’i, bahwa kafa’ah adalah dalam hal agama, nasab, kemerdekaan (bukan berstatus budak), profesi, keselamatan aib dan cacat seperti kebutaan, anggota badan tidak sempurna dan lain-lainnya. Maka, pemulung tidak sepadan dengan putri ulama, orang fasik tidak sepadan dengan wanita yang menjaga kesucian dirinya (‘afifah) dan penggemar bid’ah tidak sesuai bila menikah dengan wanita yang konsisten mengamalkan sunnah.

Konsep/teori kafa’ah diatas realitanya tidak berjalan dengan semestinya. Ada saja hambatan-hambatan yang menimpa para pelamar atau 2 insan yang berniat menyempurnakan separuh agamanya. Hambatan berupa kecocokan tanggal lahir, letak rumah, besaran gaji bulanan, kesamaan kultur agama, hingga jarak rumah mertua. Kecocokan tanggal lahir dan letak rumah ini berbau klenik alias khurafat. Yang seperti ini jelas melunturkan barokah pernikahan.

Profesi calon pelamar turut jadi pertimbangan orang tua masa kini. Salah satu sebabnya ialah mereka tidak mau putrinya sengsara, apalagi keadaan ekonomi lesu seperti saat ini. Tak heran sebagian pelamar akan ditanya apa profesinya dan berapa gajinya. Inilah petaka akhir zaman, dimana agama dan ilmu bukan yang dijadikan tolok ukur, melainkan materi. Selanjutnya jarak rumah mertua, bukankah jodoh yang Anda perjuangkan otomatis menentukan rute mudik lebaran? Syukur-syukur bila Anda punya kolega atau sahabat yang rute mudiknya sama dengan Anda. Bisa irit biaya dengan urunan sewa mobil.

Ada sebuah hadits yang jarang diperhatikan para orang tua. Begini redaksi hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi, “Apabila ada orang orang yang agama dan akhlaknya kalian sukai datang menemui kalian (untuk meminang), maka kawinkanlah dia (dengan anak kalian). Bila kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi“.

Para orang tua perlu menyimak kisah hidup Juwaibir. Ia berasal dari Bani Yamamah. Suatu ketika ia datang menemui Rasulullah Saw untuk mencari tahu tentang Islam. Hingga pada akhirnya ia mantap memeluk Islam. Juwaibir adalah nuslim yang baik, meski berwajah tidak rupawan, pendek dan miskin, Rasulullah tetap memandangnya dengan welas asih dan bersabda, “Wahai Juwaibir, menikahlah dengan seseorang wanita sehingga engkau terlindung dari kemaksiatan dan dia dapat membantumu dalam urusan dunia akhiratmu.”

Juwaibir berkata, “Wahai Rasulullah Saw, demi ayah dan ibuku, siapa yang menyukaiku? Demi Allah, aku tidak mempunyai harta, nasab dan ketampanan. Lalu adakah wanita yang mau menerimaku?” Rasulullah terharu mendengar perkataannya dan bersabda, “wahai Juwaibir, Allah telah merendahkan orang yang pada zaman jahiliyah adalah bangsawan dan memuliakan orang dahulu hina dengan Islam, Allah telah menghilangkan semua ciri kehidupan jahiliyah dan kebanggaan akan suku dan nasab. Semua manusia, baik yang berkulit putih atau gelap, Arab atau bukan, berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bertakwa dan taat kepada-Nya, pergilah engkau menemui Ziyad bin Lubaid yang merupakan pemuka Bani Bayadhah. Katakan padanya, Rasulullah bersabda kepadamu “Nikahkan Juwaibir dengan putrimu Zulfa”.

Juwaibir lalu pergi dan menyampaikan sabda Rasulullah Saw kepada Ziyad. Alhamdulillah, dia menerima dan menikahkannya dengan putrinya.

Harap diingat, dalam Islam, tidak ada yang lebih utama dibandingkan orang lain, kecuali ketakwaan dan amal baik. Bagaimana dengan persoalan harta? Soal itu, butuh proses dan bisa dicari bersama-sama. Wallahu’allam.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment