Suaramuslim.net – Jika saya telah mulai penat menjalani rutinitas, maka kembali atau mengunjungi pondok adalah hal yang sering saya pilih.
Ada beberapa alasan mengapa pondok jadi pilihan; pertama, pondok itu mengingatkan masa kecil saya. Meski saya tak mengalami jadi santri mukim, tapi pada saat liburan sekolah, ayah sering menitipkan saya di pondok yaitu tempat kakek saya tinggal. Kedua, pondok bukan hanya membangun kembali kenangan masa kecil yang penuh kenakalan tetapi juga menyemangati saya untuk membuka-buka kitab kuning yang dulu sering saya lakukan.
Seperti kali ini, saya kembali pulang mengunjungi pondok karuhun saya di Pandeglang, Banten.
Jika dahulu waktu kecil atau remaja saya suka naik bus umum untuk mengunjungi pondok, kali ini, alhamdulillah bisa pakai mobil sendiri dan disopiri pula. Hidup memang ada yang berubah, termasuk berubahnya sarana duniawi yang kita miliki.
Berdesir di hati saya, sindiran Allah pada surah Arrahman, fabiayyi ala’i robbikuma tukaddziban? “Nikmat Tuhan yang mana lagi yang engkau akan dustakan?” Ya! Allah memang tak kurang-kurang memberi kenikmatan pada saya.
Perjalanan menuju pondok membuat hati bertalu-talu mendetakkan rasa rindu. Setiba di pondok, diawali dengan menyelesaikan urusan silaturahmi dengan sanak famili, sekadar menikmati teh tawar dan rangginang, ngobrol ringan, selanjutnya saya lebih memilih tinggal di kobong.
Kobong dan Hakikat Ilmu
Kobong adalah kamar tidur santri. Di tempat kakek buyut saya ini masih dipertahankan kobong klasik, yang usianya ratusan tahun (tentu dengan berkali-kali direnovasi). Bangunannya dibuat dua lantai. Terbuat dari konstruksi kayu dan bambu dengan atap rumbia.
Lantai pertama untuk kamar mandi, tempat memasak dan gudang untuk penyimpanan kayu bakar (suluh). Lantai dua untuk kamar-kamar para santri.
Kamar mandi sangatlah sederhana, terdiri dari bak besar dari semen kasar (dahulu konon hanya kolam atau bak yang ditahan dengan batu-batu kapur). Terdapat pula sebuah gentong air yang disebut padasan untuk berwudu.
Sumber air adalah sumur, lengkap dengan kerek dan ember timbanya. Siapa yang mau mandi maka harus menimba dahulu.
Tempat masak, terdiri dari 3 hawu (pawon) dua lubang. Bahan bakar untuk memasak dipertahankan dengan suluh (kayu bakar kering). Peralatan masak pun masih menggunakan beberapa peralatan gerabah di samping ada peralatan masak dari tembaga dan aluminium.
Saya termangu melihat pantat panci yang hitam oleh karang api, entah sudah berapa lama panci itu menemani para santri. Saya sering mengguyoni hitamnya panci itu seperti hajar aswad, semakin hitam oleh perilaku dan dosa umat. Dan santri pun tak luput dari salah dan dosa.
Setiap bakda Subuh, atau pada saat santri naheur cai (memasak air) asap sisa pembakaran dari suluh membumbung ke atas, menyelinap kamar para santri melalui lubang-lubang samakan bilik.
Saya sering menikmati aroma asap yang sesayup sampai itu, apalagi kalau suluh yang dibakar adalah ranting kayu rambutan, aromanya khas, terasa aroma desa Indonesia!
Kamar yang saya biasa tempati adalah kamar ukuran 2.5 X 2 m. Tanpa langit-langit, karenanya langsung bisa melihat atap rumbia. Lantainya terbuat dari bambu yang digeprek kasar, dinding atau sekatnya terbuat dari bambu yang disebut bilik atau gedek.
Tak ada tempat tidur kecuali sehelai tikar pandan. Kalau santri tertidur terlalu pulas, maka akan nampak relief kotak-kotak di pipinya karena menjiplak motif anyaman tikar pandan.
Bersyukur sekarang sudah ada bohlam listrik, meski dengan watt yang kecil, namun lumayan sudah bisa menerangi ruang kobong.
Dahulu termasuk saat saya kecil, penerangan hanya dari damar, lampu teplok atau pelita yang berbahan bakar minyak sayur atau minyak tanah.
Saya pernah bertanya pada kakek ketika kecil dahulu, mengapa para santri harus tidur di Kobong? Kakek menjawab, bahwa menurutnya ilmu hanya bisa terserap dalam suasana kebatinan yang penuh keprihatinan.
Beliau mendasarkan pada kitab Al Majmu dari Imam Nawawi, yang mengutip kata Imam Malik bin Anas,
La yablugu ahada hadza al ilma ma yuridu hatta yudhoribahu al faqru
“Seseorang tidak akan mencapai ilmu sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi fakir (menjauhkan kenikmatan-kenikmatan dunia).”
Hal ini sejalan dengan apa yang pernah saya baca dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang berkata, dalam Jami’ li Akhlaqir Rawi,
La yasluhu tholabul ilmi ila limuflis,
“Tidak layak bagi orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang siap miskin.”
Kobong memang bangunan yang sederhana, tanpa lampu yang benderang, tanpa kasur, tanpa bantal apalagi AC dan televisi. Ia adalah tempat menyadarkan diri, tempat muhasabah kepada Illahi, dalam relung doa dan zikir. Ia melambangkan kuburan yang sunyi.
Nun, dari kobong yang sudah berusia ratusan tahun itu, lahir para guru yang meneruskan tradisi berzikir dan berkhalwat dalam sunyi, menyadarkan diri bahwa kesejatian ilmu adalah milik Allah, dan hanya untuk mendekatkan diri pada-Nya.
Tak ada ilmu kecuali kita menjadi semakin dekat pada-Nya. Itulah hakikat ilmu, that is substance of science! It’s about morality.
Ada orang yang mengatakan ilmu, padahal hanya menyebabkannya menjadi tergila-gila pada dunia. Dia bukanlah ilmu melainkan hanya pengetahuan (it is just knowledge).
Cirinya adalah hanya untuk tahu bagaimana cara menaklukkan dunia. Padahal jika kita tahu, dunia bukan untuk ditaklukkan, bukan pula untuk dimiliki melainkan hanya untuk dilalui.
Saya tertunduk, saya menitikkan air mata, kobong itu menegur saya, mengingatkan saya pada makna hidup, pada makna ilmu.
Ya Rabb, ya Alim ya Zalzali wal Ikram, ampuni hamba-Mu ini….
Jalan Tol antara Serang dan Jakarta, 10 Februari 2019.
Penulis: Dr Yudha Heryawan Asnawi*
*Sosiolog, Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (SB-IPB)
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net