Suaramuslim.net – Kemunduran kehidupan bangsa telah dimulai sejak UUD1945 diamandemen secara sembarangan oleh MPR hasil Pemilu yang dirancang secara liberal.
Konsitusi RI tidak lagi UUD1945, tapi berubah secara mendasar menjadi UUD2002. Setelah eksekutif sangat kuat selama Orde Baru, UUD2002 membuka jalan bagi dominasi partai politik dalam pasar politik nasional.
Berbagai UU dilahirkan untuk memperkuat partai politik, terutama para elitenya sebagai investornya. Jika elite parpol tipis kantong, dia bisa minta tolong para taipan. Tentu dengan ongkos yang setimpal.
Dalam ILC Selasa kemarin malam, Kapita Ampera menyesalkan KAMI yang dideklarasikan paginya oleh Din Syamsuddin dkk. Tokoh PDIP itu menyesalkan KAMI yang memainkan parlemen jalanan dan menuduh penggerak KAMI sebagai barisan sakit hati.
Narasi tokoh ini merupakan wujud arogansi parpol yang menganggap bahwa suara di luar parlemen adalah liar dan tidak kompeten sehingga tidak layak didengarkan.
Seperti sekolah telah memonopoli secara radikal pendidikan (kalau tidak sekolah dianggap kampungan; dan kini banyak anggota parlemen bergelar profesor dan doktor) parpol pun telah memonopoli secara radikal politik (kalau bukan anggota parlemen dianggap tidak kompeten berbicara politik sebagai seni memperjuangkan kepentingan) dan karenanya tugas politik rakyat selesai di bilik suara.
Itulah keyakinan banyak tokoh vokal PDIP. Keyakinan ini tidak saja sesat tapi juga menyesatkan karena tugas-tugas demokratik rakyat justru dimulai setelah keluar dari bilik suara.
Hak berkumpul dan bersuara dijamin oleh konstitusi sebagai bagian tak terpisahkan dari menjadi merdeka.
Seperti monopoli ekonomi menghancurkan kompetisi lalu merugikan konsumen, monopoli politik juga menghancurkan kompetisi untuk menghasilkan kebajikan publik lalu merugikan masyarakat pemilih. Jadi, monopoli politik oleh partai politik tidak boleh dibiarkan lagi terjadi.
KAMI mengambil sikap sebagai kompetitor dalam menyediakan kebajikan publik yang makin hilang karena politik murahan dan tidak bermutu yang ditawarkan partai politik.
Di tengah arus kedunguan yang makin luas, para politikus justru makin tidak puas dengan monopoli politiknya. Sekarang pun mereka memburu jabatan dan gelar akademik. Dengan gelar dan jabatan akademik itu mereka bisa dengan percaya diri semakin mengabaikan suara rakyat. Seperti tidak bersekolah disebut kampungan, tidak duduk di parlemen disebut ngamen jalanan. Mbelgedhesss !
Rosyid College of Arts
Gunung Anyar, Surabaya
19 Agustus 2020