Suaramuslim.net – Bila tak boleh dikatakan nihil, mungkin hanya segelintir sekolah yang mencantumkan malu dalam daftar karakter kualitas lulusannya. Yang lazim tercantum dalam daftar panjang kualitas lulusan adalah percaya diri, berani, jujur, terampil berkomunikasi, dan beberapa sifat terpuji lainnya. Lalu, adakah yang salah dengan hal tersebut? Tentu hal tersebut baik-baik saja, karena tentu, sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan telah memikirkan hal tersebut secara matang. Lebih lanjut, hal tersebut pastilah disesuaikan dengan profil lulusan yang merupakan manifestasi visi dan misi sekolah.
Namun, apabila bila kita tengok kembali urgensi malu sebagai sebuah akhlak terpuji, tentu layak dipertimbangkan kembali keberadaannya. Agar turut mendapat perhatian dalam pembentukan karakter di sekolah. Tentang kemuliaan rasa malu ini, dalam sebuah hadits, Rasulullah menyatakan bahwa malu adalah bagian dari iman. Dalam Asshohihain dari hadits Ibnu Umar, Rasulullah saw melewati seorang anshor yg sedang menasihati saudaranya tentang sifat malu. Dalam nasihat tersebut, seakan-akan dia berkata bahwa “malu itu membahayakanmu.” Menjumpai hal tersebut, maka Rasulullah bersabda, “Biarkanlah dia, sesungguhnya sifat malu itu bagian dari iman.”
Jelas sekali, Rasulullah aaw menyatakan bahwa sifat malu adalah bagian dari keimanan seseorang. Atau dengan kata lain, malu merupakan manifestasi iman. Jika seseorang itu telah sempurna imannya, maka akan tumbuh rasa malu bila bermaksiat kepada Allah. Hal ini semakin menemukan pembenaran kala kita ingat kembali definisi maksiat. Dikatakan bahwa maksiat adalah segala sesuatu yang jika seseorang melakukannya, maka dia akan merasa malu jika diketahui orang lain.
Berkaitan dengan hal tersebut, malu menempati posisi yang sangat penting. Malu ditempatkan sebagai alarm penanda bahaya. Alarm tersebut akan mengingatkan pemiliknya bila pemiliknya akan melakukan kemaksiatan. Ia akan muncul sebagai “rasa malu diketahui orang lain” yang mengingatkan pemiliknya agar segera menghentikan, meninggalkan, dan menjauhi perilaku tersebut. Alarm tersebut terletak di dalam hati, pancaran dari keimanan.
Imam An Nawawi memaparkan bahwa hakikat malu adalah karakter yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan jelek dan mencegah seseorang dari meninggalkan hak-hak orang lain. Karena itu, pengertian malu ini hendaklah tidak disalahartikan. Karena dia merupakan manifestasi keimanan, maka kedudukannya adalah sebagai benteng penolak kemaksiatan. Misalnya malu bila berbuat curang, malu bila menolak perintah orangtua, malu bila berkhianat, dan lain sebagainya. Dan bukanlah rasa malu yang muncul dari aspek non keimanan. Misalnya malu karena memakai baju sederhana, malu karena tidak punya mobil, malu karena tidak pernah berwisata ke luar negeri, dan lain-lain. Hal-hal yang disebutkan terakhir itu bukanlah perwujudan malu yang muncul dari keimanan. Tapi dari urusan cinta duniawi belaka.
Alih-alih memupuk rasa malu kepada siswa, biasanya sekolah cenderung untuk menomorsatukan karakter percaya diri siswa. Karakter percaya diri yang menancap erat pada diri siswa, tanpa diimbangi rasa malu, boleh jadi akan menjerumuskan siswa itu sendiri. Ibarat mengajari siswa untuk memutar gas sepeda motor, tapi lupa tidak diajari cara menginjak rem. Dia akan sulit menempatkan rasa percaya diri itu pada tempat yang semestinya. Percaya diri yang seharusnya digunakan pada hal-hal positif, disalahgunakan untuk hal negatif.
Misalnya, seorang siswa tanpa rasa bersalah, tanpa rasa malu, melanggar peraturan sekolah dengan dalih percaya diri. Seorang siswa berani merundung (membully) siswa lainnya dengan dalih percaya diri. Dan bahkan, seorang siswa berani menantang guru karena tidak terima saat ditegur sebab pelanggaran yang dilakukan. Hal terakhir yang disebutkan ini telah nyata terjadi, bahkan hingga berakhir di pengadilan.
Lebih lanjut, Fudhail bin Iyadh memberi nasihat bahwa ada lima tanda kecelakaan diri. Yaitu kerasnya hati, mata yang tidak menangis, sedikit sifat malu, cinta dunia dan panjang angan-angan. Kelima hal tersebut merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keimanan. Termasuk rasa malu. Malu bila bermaksiat kepada Allah.
Di sisi lain, dalam Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa kuatnya sifat malu seseorang tergantung kondisi hatinya. Jika hatinya hidup, maka ia akan memiliki rasa malu yang kuat. Sedangkan sedikitnya sifat malu disebabkan oleh matinya hati. Oleh karena itu, semakin hidup hati seseorang maka sifat malunya pun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan bahwa sifat malu tergantung kepada pengenalan seseorang kepada Tuhannya, yaitu Allah subhanallahu wa ta’ala.
Nah, jika Rasulullah sendiri telah menyatakan bahwa rasa malu itu adakah karakter yang terikat erat bagi seorang mukmin, masihkah kita berani mengabaikannya?
Kontributor: Mohammad Efendi*
Editor: Oki Aryono
*Pendidik di SD Al Hikmah Full Day School Surabaya